LANGIT7.ID- Pada 1906, seorang pria Belanda berlayar meninggalkan Batavia dengan perasaan getir. Christiaan Snouck Hurgronje—yang pernah hidup sebagai “Abdul Ghaffar” di Mekkah—mengakhiri bab panjangnya di Hindia Belanda. Ia pulang ke Leiden, bukan untuk pensiun, tetapi untuk merawat warisan intelektual yang telah ia bangun: proyek besar membaca Islam di Nusantara dengan mata seorang orientalis sekaligus pengendali kolonial.
Dalam surat-suratnya kepada mentor di Jerman, Theodor Nöldeke, Snouck menulis dengan gairah tentang “penyebaran paling dini berbagai persaudaraan mistik di kawasan ini,” dan bagaimana Islam bertemu Hindu di kepulauan yang luas itu. Namun semangat akademiknya harus sering bertekuk lutut pada kepentingan administrasi kolonial. Ia diminta bukan untuk memahami Islam, melainkan untuk menaklukkannya secara ilmiah.
Snouck bukan sekadar ilmuwan; ia adalah penasihat negara yang paling berpengaruh terhadap kebijakan Belanda atas Islam. Kepada pejabat-pejabat kolonial, ia menulis nasihat dingin namun tajam: tarekat seperti Naqsyabandiyah adalah “gerakan panteistik yang sepenuhnya bebas dari aspirasi politik.” Dengan kata lain, biarkan mereka hidup—selama mereka tidak mengancam kekuasaan.
Pandangan ini lahir dari keyakinannya bahwa “masa depan Hindia” tidak terletak pada jihad, tapi pada penaklukan kultural. “Kaum Mohammedan Hindia,” tulisnya, harus diarahkan untuk meninggalkan para wali dan tradisi sufi demi pendidikan Barat dan rasionalitas modern.
Michael Laffan mencatat, Snouck melihat Mekkah sebagai “benteng terakhir ortodoksi konservatif,” tempat lahirnya fanatisme yang dibawa para jamaah haji ke Nusantara. Islam lokal harus disterilkan dari pengaruh itu. Maka lahirlah kebijakan pengawasan terhadap guru agama, pesantren, dan tarekat melalui Ordonansi Guru tahun 1905—produk nyata dari pandangan Snouck tentang kontrol atas pengetahuan keagamaan.
Para Murid dan Bayangannya Setelah kembali ke Leiden, Snouck menjadi guru besar dan pengasuh generasi baru orientalis dan pejabat Hindia. Mereka disebut Laffan sebagai para penasihat untuk Indonesië: G.A.J. Hazeu, P.S. van Ronkel, T.W. Juynboll, hingga D.A. Rinkes.
Masing-masing mewarisi semangat sang guru, meski tak selalu setia. Hazeu, misalnya, menolak kebijakan diskriminatif terhadap guru-guru tarekat. Dalam laporannya yang keras pada 1909, ia menulis bahwa ketidakpercayaan pemerintah terhadap para sufi justru mendorong mereka bersembunyi dan berbohong. “Suatu kontradiksi mencolok dengan kenyataan!” tulisnya, mengingatkan bahwa pengawasan tanpa pemahaman hanya melahirkan keterasingan.
Ada pula Hoesein Djajadiningrat, sepupu Aboe Bakar Djajadiningrat, yang menjadi orang Indonesia pertama bergelar doktor di Leiden. Kajian kritisnya atas Sajarah Banten (1913) menggemakan semangat Snouck dalam menelusuri asal-usul Islam lokal, tetapi dengan pandangan yang lebih independen.
Bagi para murid inilah, tulis Laffan, Snouck menjadi figur ganda: guru yang membuka jalan akademik sekaligus simbol ambivalensi kolonial—antara memahami dan menguasai.
Membentuk “Islam Indonesia” Dalam catatan Laffan, Snouck-lah yang pertama kali menulis istilah “kaum Mohammedan Indonesia” atau “Mukmin Indonesia”. Ia memisahkan Hindia dari Dunia Melayu, tetapi juga menandai wilayah itu dengan ciri Islam yang khas, meski tanpa menyebutnya “Islam Indonesia.”
Paradoksnya, justru para pengikut intelektualnya kelak yang menegaskan istilah itu. Dari meja kuliah Leiden, gagasan tentang “Islam Indonesia” mengalir ke Hindia lewat para pejabat dan cendekiawan muda yang belajar membedakan Islam “rasional dan modern” dari Islam “mistik dan kampungan.” Snouck, tanpa sadar, menjadi bapak epistemologis bagi konstruksi kolonial tentang keislaman yang “jinak” dan “terpelajar.”
Namun sejarah bergerak dengan ironi. Gagasan-gagasan Snouck yang dimaksudkan untuk menertibkan Islam justru menyediakan bahasa baru bagi generasi nasionalis untuk menafsirkan diri. Para sarjana Muslim kemudian mengisi ulang istilah “Islam Indonesia” dengan makna yang jauh dari niat awalnya—bukan subordinasi, melainkan jati diri.
Laffan menulis, Snouck “percaya bahwa Indonesië akan menjadi situs paling mungkin bagi pendekatan antara Islam dan humanisme.” Ia mungkin benar, meski bukan dalam bentuk yang ia bayangkan.
Dari tangan kolonial, wacana tentang Islam di Nusantara berpindah ke tangan bangsa yang berdaulat. Dari ruang kuliah Leiden hingga ruang publik Jakarta, bayang Snouck masih ada—tapi kini ia tak lagi menjadi penasihat kekuasaan, melainkan subjek kajian yang dikritisi.
Dan seperti yang diingatkan Laffan dalam penutup babnya, sejarah Islam di Nusantara adalah kisah tentang negosiasi panjang antara tafsir dan kuasa—antara mereka yang menulis tentang Islam, dan mereka yang hidup di dalamnya.
(mif)