LANGIT7.ID – Masuknya Islam ke dalam hati Utsman bin Affan adalah salah satu kisah paling lembut dan rasional dalam sejarah awal kenabian. Ia bukan sekadar peristiwa spiritual, melainkan pertemuan antara akal, hati, dan kebijaksanaan dalam mencari kebenaran.
Menurut Muhammad Husain Haekal dalam bukunya
Utsman bin Affan: Antara Kekhalifahan dan Kerajaan (diterjemahkan oleh Ali Audah, Pustaka Litera AntarNusa), keislaman Utsman terjadi bukan karena tekanan sosial atau desakan emosional, melainkan hasil perenungan panjang yang didorong oleh keyakinan logis dan suara hati yang tenang.
Dalam riwayat yang dikutip al-Hafiz Ibn Asakir, Utsman mula-mula mendengar kabar bahwa Nabi Muhammad SAW menikahkan putrinya, Ruqayyah, dengan sepupunya, Utbah bin Abi Lahab. Ia menyesal bukan karena urusan cinta semata, melainkan karena merasa kehilangan kesempatan untuk dekat dengan keluarga Muhammad yang dikenal jujur dan berakhlak mulia.
Dalam kebingungan itu, ia bertemu bibinya, Sa’diyah binti Kuraiz, seorang perempuan yang dikenal sebagai tabib dan peramal di kalangan Quraisy. Sa’diyah menuturkan kepadanya kabar yang terdengar aneh bagi Utsman: bahwa Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah, membawa ajaran yang akan memisahkan kebenaran dari kebatilan. “Ikutlah dia,” kata sang bibi, “engkau tidak akan tertipu oleh berhala.”
Utsman sempat tertegun. “Perkara seperti ini belum pernah terjadi di negeri kita,” ujarnya heran. Namun, benih keyakinan telah tumbuh di hatinya.
Dialog dengan Abu BakarKeputusan itu semakin menguat setelah pertemuannya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat karib Nabi yang dikenal jernih akalnya. Dalam percakapan mereka, Abu Bakar menantang logika Utsman: “Apa gunanya berhala yang disembah kaummu itu? Bukankah itu hanya batu yang tidak mendengar, tidak melihat, tidak menolong dan tidak memberi mudarat?”
Utsman mengakui kebenaran kata-kata itu. Dari situ, Abu Bakar mengajaknya menemui Rasulullah SAW. “Usman,” sabda Nabi, “penuhilah seruan Allah. Aku adalah utusan-Nya kepadamu dan kepada seluruh hamba-Nya.”
Tanpa banyak ragu, Utsman menyatakan keislamannya. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan. Sejak saat itu, hidupnya berubah arah—dari pedagang kaya Quraisy menjadi salah satu pilar utama Islam.
Menurut Haekal, keislaman Utsman adalah simbol dari perpaduan intelektual dan spiritual. Ia tidak masuk Islam karena mukjizat lahiriah, melainkan karena keindahan argumentasi moral dan kesaksian akal sehat.
Dalam
Sirah Nabawiyah karya Ibn Hisham, disebutkan bahwa Utsman termasuk dari kelompok awal yang masuk Islam—bersama Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Para ulama seperti al-Zarkasyi dan Ibn Katsir menegaskan bahwa keislamannya memperlihatkan watak tenang dan lembut, yang kelak menjadi ciri kepemimpinannya.
Dr. Raghib as-Sirjani dalam
Rijal Hawla ar-Rasul menulis, “Utsman adalah sosok yang menemukan kebenaran melalui akalnya sebelum hatinya, dan mencintai Islam karena keindahan akhlak Nabi sebelum mukjizat-mukjizatnya.”
Cinta yang Menyatu dengan ImanTak lama setelah keislamannya, Utsman menikah dengan Ruqayyah binti Muhammad SAW—yang sebelumnya diceraikan oleh Utbah bin Abi Lahab. Hubungan itu bukan sekadar pernikahan keluarga, tetapi simbol penyatuan antara iman dan kasih sayang.
Nabi SAW bersabda, “Pasangan terbaik yang pernah dilihat orang adalah Ruqayyah dan suaminya, Utsman.” (Ibn Sa’d,
Thabaqat al-Kubra). Dari pernikahan itu lahir seorang anak bernama Abdullah, yang kemudian wafat di usia muda.
Masuknya Utsman ke dalam Islam menandai babak penting dalam sejarah dakwah. Ia menjadi saksi awal perjuangan Rasulullah di Makkah, ikut berhijrah ke Habasyah dan Madinah, dan kelak menjadi khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab.
Sebagaimana ditulis Karen Armstrong dalam
Muhammad: A Prophet for Our Time (HarperCollins, 2006), “Utsman adalah contoh bagaimana Islam menyentuh hati para pemikir lembut yang mengutamakan harmoni dan ketenangan di tengah gejolak sosial.”
Dalam dirinya, Islam menemukan bentuknya yang paling tenang: sebuah keyakinan yang tidak berteriak, tapi berakar.
Akhir kalam, keislaman Utsman bin Affan bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah refleksi tentang bagaimana iman sejati sering lahir dari perenungan, bukan paksaan. Dalam zaman yang penuh kebisingan ideologi dan klaim kebenaran, kisah Utsman mengajarkan satu hal yang abadi: bahwa hidayah datang pada hati yang mau mendengar dan berpikir. “
Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus.” (QS Al-Baqarah [2]: 213)
(mif)