Pakaian sebagai Penanda Takwa: Menyimpan Pesan Psikologis dan Spiritual
Miftah yusufpati
Senin, 17 November 2025 - 15:42 WIB
Di balik fungsi fisiknya, pakaian menyimpan pesan psikologis dan spiritual. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Ada satu pertanyaan yang boleh jadi cukup menggoda: bagaimana sehelai kain dapat memuat pesan psikologis, sosial, bahkan spiritual?
Dalam buku berjudul Wawasan Al-Quran karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab (Mizan)dijelaskan bahwa fungsi pakaian berlapis-lapis. Lapisan paling kasat mata adalah perlindungan fisik: pakaian tebal dari dingin, pakaian tipis dari panas. Namun lapisan yang lebih dalam menyangkut batin pemakainya.
Quraish Shihab menulis bahwa pakaian menciptakan suasana psikologis tertentu; ia menata cara seseorang memandang dirinya, dan cara orang lain memandang dirinya pula.
Penjelasan itu bersesuaian dengan kajian antropologi Erving Goffman tentang presentasi diri dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956), bahwa tubuh dan busana adalah panggung bagi identitas sosial.
Sejarah mencatat pakaian bahkan diperlakukan sebagai simbol perubahan mental kolektif. Ketika Turki modern lahir, Mustafa Kemal Atatürk melarang tarbus dan menggantinya dengan topi gaya Barat. Alasannya sederhana sekaligus politis: tarbus dianggap lambang keterbelakangan dan penahan gerak maju bangsa.
Dalam kacamata psikologi sosial, seperti dijelaskan oleh Herbert Blumer dalam teori interaksionisme simbolik, pakaian menyimpan makna yang dinegosiasikan secara sosial; mengubah pakaian berarti mengubah kerangka makna.
Dalam dunia sufi, simbol itu ditarik lebih jauh. Kaum sufi mengenakan shuf, kain wol kasar, bukan karena soal mode, melainkan latihan batin: menjaga kesederhanaan, mencegah hati terlena oleh kenyamanan. Kain yang tak elok dipakai agar batin tetap elok.
Dalam buku berjudul Wawasan Al-Quran karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab (Mizan)dijelaskan bahwa fungsi pakaian berlapis-lapis. Lapisan paling kasat mata adalah perlindungan fisik: pakaian tebal dari dingin, pakaian tipis dari panas. Namun lapisan yang lebih dalam menyangkut batin pemakainya.
Quraish Shihab menulis bahwa pakaian menciptakan suasana psikologis tertentu; ia menata cara seseorang memandang dirinya, dan cara orang lain memandang dirinya pula.
Penjelasan itu bersesuaian dengan kajian antropologi Erving Goffman tentang presentasi diri dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956), bahwa tubuh dan busana adalah panggung bagi identitas sosial.
Sejarah mencatat pakaian bahkan diperlakukan sebagai simbol perubahan mental kolektif. Ketika Turki modern lahir, Mustafa Kemal Atatürk melarang tarbus dan menggantinya dengan topi gaya Barat. Alasannya sederhana sekaligus politis: tarbus dianggap lambang keterbelakangan dan penahan gerak maju bangsa.
Dalam kacamata psikologi sosial, seperti dijelaskan oleh Herbert Blumer dalam teori interaksionisme simbolik, pakaian menyimpan makna yang dinegosiasikan secara sosial; mengubah pakaian berarti mengubah kerangka makna.
Dalam dunia sufi, simbol itu ditarik lebih jauh. Kaum sufi mengenakan shuf, kain wol kasar, bukan karena soal mode, melainkan latihan batin: menjaga kesederhanaan, mencegah hati terlena oleh kenyamanan. Kain yang tak elok dipakai agar batin tetap elok.