Pakaian sebagai Penunjuk Identitas: Cermin Kepribadian Umat
Miftah yusufpati
Selasa, 18 November 2025 - 04:15 WIB
Dalam Al-Quran, pakaian bukan sekadar pelindung tubuh. Ilustrasi: hescotlandkittcampany
LANGIT7.ID- Di banyak kota, pakaian adalah peta sosial. Dari seragam sekolah dasar hingga tanda pangkat militer, sehelai kain memuat informasi: status, peran, bahkan otoritas.
Dalam Wawasan Al-Quran karya Prof, Dr. M. Quraish Shihab (Mizan), disebutkan fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas ditempatkan sejajar dengan fungsi perlindungan dan perhiasan. Identitas, tulis Quraish Shihab, adalah penanda eksistensi seseorang—yang tampak secara material dalam pakaian, dan secara imaterial dalam kepribadian batinnya.
Ayat yang menjadi pijakan adalah QS Al-Ahzab (33):59: Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal. Perintah agar perempuan Muslim mengenakan jilbab, menurut tafsir klasik seperti Al-Tabari dan Al-Qurtubi, bukan hanya terkait perlindungan sosial, tetapi juga penegasan identitas komunitas. Ia memisahkan, sekaligus menyatukan.
Identitas berpakaian bukan monopoli ajaran Islam. Sosiolog Kai Erikson dalam Wayward Puritans (1966) menjelaskan bahwa pakaian memiliki fungsi boundary-setting—menegaskan batas antara “kita” dan “mereka”. Sementara antropolog Joanne Eicher dalam The Anthropology of Dress (1995) menuliskan bahwa pakaian adalah bahasa nonverbal masyarakat; ia merekam kelas sosial, profesi, hingga nilai-nilai moral sebuah komunitas.
Di masa Nabi Muhammad SAW, identitas pakaian menjadi isu serius. Sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud menyebutkan bahwa Rasul melarang laki-laki memakai pakaian perempuan dan sebaliknya. Larangan ini, menurut Quraish Shihab, bukan semata soal bentuk pakaian, tetapi tentang kejelasan identitas dan peran sosial. Masyarakat yang kabur identitasnya akan kabur pula batas etiknya.
Kisah penetapan adzan menguatkan hal itu. Ketika sahabat mengusulkan tanda visual seperti menancapkan panji, atau memakai terompet seperti Yahudi, atau lonceng seperti Kristen, Rasul menolaknya. Identitas umat, pikir beliau, tidak boleh menempel pada simbol umat lain. Yang akhirnya dikukuhkan adalah adzan—panggilan yang unik, merdu, dan khas Islam. Hadis lain menegaskan garis ini: Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu.
Namun persoalan identitas tidak berhenti di tubuh. Ada identitas ruhani, yang oleh Al-Quran ditegaskan dalam QS Al-Hadid (57):16: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah…. Identitas paling mendasar seorang Muslim bukan pada kain yang menutup tubuhnya, melainkan pada sikap batin yang menutup sifat-sifat buruk: kesombongan, kelalaian, dan kerasnya hati. Sosiolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menyebut hal ini sebagai deep symbols—simbol-simbol yang hidup di kedalaman kesadaran, bukan di permukaan tubuh.
Dalam Wawasan Al-Quran karya Prof, Dr. M. Quraish Shihab (Mizan), disebutkan fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas ditempatkan sejajar dengan fungsi perlindungan dan perhiasan. Identitas, tulis Quraish Shihab, adalah penanda eksistensi seseorang—yang tampak secara material dalam pakaian, dan secara imaterial dalam kepribadian batinnya.
Ayat yang menjadi pijakan adalah QS Al-Ahzab (33):59: Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal. Perintah agar perempuan Muslim mengenakan jilbab, menurut tafsir klasik seperti Al-Tabari dan Al-Qurtubi, bukan hanya terkait perlindungan sosial, tetapi juga penegasan identitas komunitas. Ia memisahkan, sekaligus menyatukan.
Identitas berpakaian bukan monopoli ajaran Islam. Sosiolog Kai Erikson dalam Wayward Puritans (1966) menjelaskan bahwa pakaian memiliki fungsi boundary-setting—menegaskan batas antara “kita” dan “mereka”. Sementara antropolog Joanne Eicher dalam The Anthropology of Dress (1995) menuliskan bahwa pakaian adalah bahasa nonverbal masyarakat; ia merekam kelas sosial, profesi, hingga nilai-nilai moral sebuah komunitas.
Di masa Nabi Muhammad SAW, identitas pakaian menjadi isu serius. Sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud menyebutkan bahwa Rasul melarang laki-laki memakai pakaian perempuan dan sebaliknya. Larangan ini, menurut Quraish Shihab, bukan semata soal bentuk pakaian, tetapi tentang kejelasan identitas dan peran sosial. Masyarakat yang kabur identitasnya akan kabur pula batas etiknya.
Kisah penetapan adzan menguatkan hal itu. Ketika sahabat mengusulkan tanda visual seperti menancapkan panji, atau memakai terompet seperti Yahudi, atau lonceng seperti Kristen, Rasul menolaknya. Identitas umat, pikir beliau, tidak boleh menempel pada simbol umat lain. Yang akhirnya dikukuhkan adalah adzan—panggilan yang unik, merdu, dan khas Islam. Hadis lain menegaskan garis ini: Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu.
Namun persoalan identitas tidak berhenti di tubuh. Ada identitas ruhani, yang oleh Al-Quran ditegaskan dalam QS Al-Hadid (57):16: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah…. Identitas paling mendasar seorang Muslim bukan pada kain yang menutup tubuhnya, melainkan pada sikap batin yang menutup sifat-sifat buruk: kesombongan, kelalaian, dan kerasnya hati. Sosiolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menyebut hal ini sebagai deep symbols—simbol-simbol yang hidup di kedalaman kesadaran, bukan di permukaan tubuh.