Kisah Utsman bin Affan: Bayang-Bayang Konstantinopel di Pelabuhan Iskandariah
Miftah yusufpati
Selasa, 18 November 2025 - 16:06 WIB
Selama beberapa hari, Manuel menguasai kembali Iskandariah. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Pada tahun-tahun awal kekhalifahan Utsman bin Affan, Mesir adalah wilayah muda dalam kekuasaan Islam. Kota Iskandariah, dengan pelabuhannya yang riuh dan benteng lamanya, menjadi simpul penting di Laut Tengah. Namun penguasaan itu belum sepenuhnya kukuh. Di Konstantinopel, Kaisar Konstans II menunggu celah untuk merebut kembali provinsi terkaya Imperium Romawi Timur.
Ketika celah itu datang, ia tidak menyia-nyiakannya.
Kekuatan laut saat itu sepenuhnya milik Romawi. Literatur historis menguatkan gambaran timpangnya pengetahuan maritim antara kedua dunia itu. Muslim, sejak masa Nabi Muhammad hingga masa Umar bin Khattab, lebih akrab dengan padang pasir ketimbang gelombang. Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam yang terkenal lihai, pernah meminta izin membangun armada. Umar menolak.
Sejarawan Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (1937) menuliskan bahwa pengalaman buruk ekspedisi laut Ala bin al-Hadrami di Teluk Persia membekaskan trauma pada Umar. Ketika Muawiyah mendesak lagi, Umar meminta Amr bin As—gubernur Mesir—melukiskan bagaimana laut itu sebenarnya. Jawaban Amr kemudian hari menjadi kutipan klasik dalam historiografi Islam:
"Saya melihat laut itu ciptaan besar yang diarungi makhluk kecil. Jika tenang hati jadi sedih, jika bergolak pikiran kacau. Bagaikan ulat di sebatang kayu: jika miring tenggelam, jika selamat bersinar."
Umar kian mantap menolak. Sejarawan Hugh Kennedy (The Great Arab Conquests, 2007) mencatat bahwa ketakutan Umar bukan saja pada gelombang, tetapi pada risiko kehilangan pasukan dalam jumlah besar. Selama ia hidup, tidak ada satu pun kapal perang Arab yang dilepas ke Laut Tengah.
Karena itu, Konstans II bergerak dengan keyakinan penuh. Ia tahu musuhnya tuli terhadap deru ombak.
Ketika celah itu datang, ia tidak menyia-nyiakannya.
Kekuatan laut saat itu sepenuhnya milik Romawi. Literatur historis menguatkan gambaran timpangnya pengetahuan maritim antara kedua dunia itu. Muslim, sejak masa Nabi Muhammad hingga masa Umar bin Khattab, lebih akrab dengan padang pasir ketimbang gelombang. Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam yang terkenal lihai, pernah meminta izin membangun armada. Umar menolak.
Sejarawan Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (1937) menuliskan bahwa pengalaman buruk ekspedisi laut Ala bin al-Hadrami di Teluk Persia membekaskan trauma pada Umar. Ketika Muawiyah mendesak lagi, Umar meminta Amr bin As—gubernur Mesir—melukiskan bagaimana laut itu sebenarnya. Jawaban Amr kemudian hari menjadi kutipan klasik dalam historiografi Islam:
"Saya melihat laut itu ciptaan besar yang diarungi makhluk kecil. Jika tenang hati jadi sedih, jika bergolak pikiran kacau. Bagaikan ulat di sebatang kayu: jika miring tenggelam, jika selamat bersinar."
Umar kian mantap menolak. Sejarawan Hugh Kennedy (The Great Arab Conquests, 2007) mencatat bahwa ketakutan Umar bukan saja pada gelombang, tetapi pada risiko kehilangan pasukan dalam jumlah besar. Selama ia hidup, tidak ada satu pun kapal perang Arab yang dilepas ke Laut Tengah.
Karena itu, Konstans II bergerak dengan keyakinan penuh. Ia tahu musuhnya tuli terhadap deru ombak.