Utsman bin Affan: Kisah Pasukan Romawi Mendarat di Iskandariah
Miftah yusufpati
Selasa, 18 November 2025 - 16:20 WIB
Pada awal pemerintahan Utsman bin Affan (664 M), 300 kapal Romawi mendarat diam-diam di Iskandariah. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID- Ketika Utsman bin Affan menjabat khalifah, Mesir—khususnya Iskandariah (Aleksandria)—secara tiba-tiba kembali menjadi medan perpaduan ambisi Romawi dan kekhawatiran Muslim muda. Menurut Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaankarya Muhammad Husain Haekal (diterjemahkan Ali Audah, Pustaka Litera AntarNusa), invasi ini terjadi pada tahun 25 Hijriah, atau sekitar 664 Masehi, kurang dari dua tahun setelah pembunuhan Utsman.
Kaisar Konstans II, yang bertekad merebut kembali Mesir, dilaporkan mengerahkan armada rakitan sekitar 300 kapal yang dipimpin oleh seorang perwira bernama Manuel. Operasi ini disiapkan secara rahasia, bahkan intelijen Muslim di Mesir dan Madinah tidak mencium satu pun pergerakan signifikan.
Saat tiba di Iskandariah, pasukan Romawi disambut oleh komunitas penduduk lokal yang keturunan Romawi — sebuah psikologis kemenangan awal. Mereka lalu menyerbu asrama pasukan Arab-Muslim, menewaskan sebagian besar penghuninya. Haekal mencatat hanya sedikit yang berhasil melarikan diri.
Krisis Identitas dan Reaksi Muslim
Pendaratan ini terjadi di saat kekhalifahan Utsman masih rapuh. Banyak sejarawan berpendapat bahwa kematian Umar bin Khattab memberi harapan bagi Konstantinopel bahwa Muslim akan kehilangan momentum dan struktur kepemimpinan.
Sumber-sumber Muslim menyebutkan bahwa umat sangat bingung menghadapi situasi genting ini. Mereka segera meminta Amr bin As, panglima penaklukan Mesir sebelumnya, untuk kembali ke Mesir dan memimpin pertahanan. Amr dikenal sebagai tokoh karismatik: namanya mampu “menggetarkan hati” Romawi, sekaligus dipercaya oleh khalifah Utsman untuk mengusir pasukan musuh.
Motivasi di balik penugasan Amr kembali tidak hanya soal perang suci, tetapi juga politik internal. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Amr mungkin melihat kesempatan untuk menegaskan peran strategisnya dalam kekhalifahan, terutama setelah perselisihan masa lalu dengan Utsman perihal jabatan dan pajak Mesir. Namun di sisi lain, kembalinya Amr direspon sebagai tindakan “suci”: upaya mempertahankan Mesir dari invasi dan menegakkan kekuasaan Muslim.
Kaisar Konstans II, yang bertekad merebut kembali Mesir, dilaporkan mengerahkan armada rakitan sekitar 300 kapal yang dipimpin oleh seorang perwira bernama Manuel. Operasi ini disiapkan secara rahasia, bahkan intelijen Muslim di Mesir dan Madinah tidak mencium satu pun pergerakan signifikan.
Saat tiba di Iskandariah, pasukan Romawi disambut oleh komunitas penduduk lokal yang keturunan Romawi — sebuah psikologis kemenangan awal. Mereka lalu menyerbu asrama pasukan Arab-Muslim, menewaskan sebagian besar penghuninya. Haekal mencatat hanya sedikit yang berhasil melarikan diri.
Krisis Identitas dan Reaksi Muslim
Pendaratan ini terjadi di saat kekhalifahan Utsman masih rapuh. Banyak sejarawan berpendapat bahwa kematian Umar bin Khattab memberi harapan bagi Konstantinopel bahwa Muslim akan kehilangan momentum dan struktur kepemimpinan.
Sumber-sumber Muslim menyebutkan bahwa umat sangat bingung menghadapi situasi genting ini. Mereka segera meminta Amr bin As, panglima penaklukan Mesir sebelumnya, untuk kembali ke Mesir dan memimpin pertahanan. Amr dikenal sebagai tokoh karismatik: namanya mampu “menggetarkan hati” Romawi, sekaligus dipercaya oleh khalifah Utsman untuk mengusir pasukan musuh.
Motivasi di balik penugasan Amr kembali tidak hanya soal perang suci, tetapi juga politik internal. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Amr mungkin melihat kesempatan untuk menegaskan peran strategisnya dalam kekhalifahan, terutama setelah perselisihan masa lalu dengan Utsman perihal jabatan dan pajak Mesir. Namun di sisi lain, kembalinya Amr direspon sebagai tindakan “suci”: upaya mempertahankan Mesir dari invasi dan menegakkan kekuasaan Muslim.