Ketika Jilbab Menjadi Penanda: Menafsir Ulang Al-Nur dan Al-Ahzab
Miftah yusufpati
Rabu, 19 November 2025 - 05:18 WIB
Tafsir Al-Nur menekankan etika zinah, estetika yang tertata, bukan peniadaan keindahan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Pada suatu masa di Madinah, awal-awal Islam menjejak sebagai masyarakat baru, pakaian perempuan Muslim tak berbeda jauh dari perempuan lain—termasuk budak dan pekerja seks. Mereka memakai baju, kerudung, bahkan jilbab, namun leher, telinga, dan sebagian dada tetap terbuka. Kerudung sering disampirkan ke belakang, sehingga identitas sosial—apalagi keimanan—nyaris tak terbaca dari cara berpakaian.
Di celah kerancuan identitas itu, kaum munafik memainkan peran. Mereka menggoda perempuan Mukminah dan, ketika ditegur, berkelit: “Kami kira mereka budak.” Begitu catatan Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an. Situasi sosial yang semrawut itu menjadi latar turunnya ayat yang kemudian menjadi salah satu pijakan utama pembahasan jilbab dalam Islam.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang Mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Tujuannya jelas: agar para perempuan mudah dikenali sebagai Muslimah merdeka—perempuan baik-baik—sehingga tidak diganggu. Quraish Shihab mencatat: ini bukan perintah “memulai” pemakaian jilbab, tetapi memperbaiki cara memakainya. Mereka sudah berjilbab, hanya saja tidak cukup menutup tubuh sehingga tak berfungsi sebagai penanda identitas.
Perdebatan Lama
Ayat lain yang menjadi rujukan penting adalah QS Al-Nur (24): 31. Di sana, Al-Qur’an memerintahkan perempuan beriman menahan pandangan, menjaga kehormatan, tidak menampakkan zinah—hiasan—kecuali “yang tampak darinya.” Frasa pendek itulah yang membuat para mufasir berdebat panjang.
Mayoritas sepakat bahwa zinah berarti hiasan tubuh atau perhiasan yang mempercantik: pakaian, perhiasan emas, rias wajah. Masalahnya: apa yang dimaksud “yang tampak”?
Di celah kerancuan identitas itu, kaum munafik memainkan peran. Mereka menggoda perempuan Mukminah dan, ketika ditegur, berkelit: “Kami kira mereka budak.” Begitu catatan Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an. Situasi sosial yang semrawut itu menjadi latar turunnya ayat yang kemudian menjadi salah satu pijakan utama pembahasan jilbab dalam Islam.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang Mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Tujuannya jelas: agar para perempuan mudah dikenali sebagai Muslimah merdeka—perempuan baik-baik—sehingga tidak diganggu. Quraish Shihab mencatat: ini bukan perintah “memulai” pemakaian jilbab, tetapi memperbaiki cara memakainya. Mereka sudah berjilbab, hanya saja tidak cukup menutup tubuh sehingga tak berfungsi sebagai penanda identitas.
Perdebatan Lama
Ayat lain yang menjadi rujukan penting adalah QS Al-Nur (24): 31. Di sana, Al-Qur’an memerintahkan perempuan beriman menahan pandangan, menjaga kehormatan, tidak menampakkan zinah—hiasan—kecuali “yang tampak darinya.” Frasa pendek itulah yang membuat para mufasir berdebat panjang.
Mayoritas sepakat bahwa zinah berarti hiasan tubuh atau perhiasan yang mempercantik: pakaian, perhiasan emas, rias wajah. Masalahnya: apa yang dimaksud “yang tampak”?