LANGIT7.ID-, Jakarta- - Mudik lebaran, bukan sekedar tradisi. Tapi beyond. Energi masyarakat muslim urban tersedot, memikirkan persiapan mudik. Masyarakat muslim yang di kampung, energinya tersedot untuk mempersiapkan penyabutan keluarganya yang mudik dari kota. Pemerintah pun harus tersedot energinya karena harus memfasilitasi infrastruktur atau sarana pendukung untuk memudahkan perjalanan mudik. Ada 33,369 sarana angkutan, dan sejumlah terminal,stasiun kereta, pelabuhan serta bandara yang disiapkan untuk pemudik yang jumlahnya kini mencapai 193,6 juta.
Dari fasilitas yang disiapkan pemerintah tersebut rinciannya; 30.780 unit bus dengan 113 terminal, 213 unit kapal dengan 16 pelabuhan dan 50 dermaga, 420 unit pesawat dengan 51 bandara domestik, 16 bandara internasional, 1.208 kapal swasta dengan 264 pelabuhan, serta 615 kereta api antar kota dengan 192 stasiun. Ini luar biasa dan fantastis.
Membayangkan jumlah pemudik yang jutaan, juga bisa membayangkan seperti apa keadaan di jalan, di setiap kendaraan transportasi. Tapi, yang namanya mudik bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dimaknai sebagai sesuatu yang “wajib”, harus, atau istilah di kampung,”Pokoknya mudik!”
Mengapa mudik menjadi “wajib, harus atau pokoke?” Tentu hal ini terkait persoalan kultural dan kesakralan. Secara kultural, banyak hal yang bisa dijelaskan di sini. Seperti kondisi keluarga yang karena faktor pernikahan, pekerjaan atau faktor hal lainnya menyebabkan keutuhan menetap dalam satu rumah tidak bisa lagi dipertahankan. Biasanya momentum lebaran menjadi ajang yang pas dan strategis untuk mempertemukan kembali organ organ keluarga yang terpencar pencar. Di sinilah sebuah kebahagiaan terpancar dari satu keluarga yang bisa berkumpul lagi bersama setelah sekian lama terpisah oleh keadaan.
Lalu dimensi kesakralannya di mana? Di sini ada faktor agama yang masuk ke dalam tradisi mudik. Ada ajaran agama Islam yang mendorong manusia untuk meningkatkan silaturahmi. Ajaran ini, menjelaskan manfaat silaturahmi bisa mendatangkan atau memperbanyak rizki. Perspektif agama Islam yang lain, penekanan bersilaturahmi, termasuk mengunjungi orangtua atau saudara tertua agar terhindar dari stigma “kualat”. Tentu ini menjadi penguat bagi penganut agama Islam, bahwa kata kualat sangat ditakuti. Dalam perspektif jawa, yang namanya disebut kualat, implikasinya panjang dan kemana mana. Kecenderungannya, kualat itu konotasinya negative atau destruktif. Itulah dua hal (kultural-kesakralan) yang menjadi faktor historis lahirnya tradisi mudik.
Namun, tradisi mudik yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia, sekarang banyak melahirkan ekses baru yang kemudian menjadi fenomena yang terkadang menggelikan, bahkan menakutkan. Menggelikan karena saat mudik, orangtua, saudara dari keluarga atau tetangga banyak pertanyaan. Yang masih jomblo, akan ditanya sudah punya calon. Sekarang kerja apa, gajinya berapa, dan tinggal dimana? Urusan fisik pun juga bisa dikomentari; sekarang gemuk, sekarang kurus, sekarang tambah putih, atau tambah hitam. Kalau pas melihatnya makin gemuk yang terliat sukses, tetangga ada yang berseloroh agar dijodohin sama putrinya. Macam macamlah.
Bagi pemudik yang sudah berkeluarga, ceritanya lain lagi. Yang belum bawa anak, orangtua, saudara keluarga atau tetangga akan menanyakan; kok belum punya anak. Tidak hanya sampai disitu. Pertanyaan lanjutan terus mengejar; sudah ikhtiar apa saja untuk program punya anak.
Kalau pemudik yang sudah punya anak, akan dilihat dari sisi yang lain. Seperti melihat fasilitas fasilitas yang dimiliki. Dilihat mobilnya, sudah punya rumah sendiri, punya jabatan di tempat kerjanya. Fasilitas fasilitas inilah yang termasuk akan berpengaruh dalam hubungan keluarga saat mudik. Jika, dalam satu keluarga ada dua atau tiga bagian keluarganya yang mudik, tentu yang paling lengkap memiliki fasilitas tersebut secara tidak langsung akan lebih “disayang” orang tuanya, saudara keluarga atau mendapat perhatian lebih dari tetangga di kampung. Perilaku yang tidak sengaja yang dilakukan orangtua atau saudara keluarga ini, secara psikologis banyak menimbulkan gangguan psikis bagi anggota keluarga yang belum beruntung memiliki fasilitas fasilitas tersebut. Maka implikasi pilih kasih kepada bagian keluarga yang terliat sukses, akan membuat bagian keluarga lain yang belum sukses menjadi trauma saat datang kembali jadwal tradisi mudik. Untuk memutuskan mudik lagi, menjadi ragu ragu ketika secara mental belum siap menghadapi apa yang akan terjadi saat memilih mudik.
Namun arus besar mudik lebih banyak berhasil membuat tekanan bagi anggota keluarga yang tinggal di perkotaan tetap memaksa mudik. Entah dengan cara apa pun, yang penting bisa “pamer” di kampung. Beginilah konflik batin bagi pemudik. Di satu sisi mudik bisa memuaskan batin karena bisa bertemu seluruh keluarga, namun di sisi lain, mudik juga punya ruang besar melahirkan konflik batin bagi pemudik yang tidak siap.
Bagi pemerintah punya perspektif berbeda. Pemerintah tidak mau mikirin mudik effect yang juga bisa menimbulkan konflik psikis. Yang dilihat pemerintah, bahwa tradisi mudik akan menimbulkan dampak ekonomi yang positif, karena arus perputaran uang di daerah menjadi fenomenal, sehingga akan berefek terhadap pemerataan ekonomi di daerah.
Memang kalau merujuk data KADIN, prakiraan uang yang dibawa mudik mencapai 157,3 triliun. Ini melihat data pemudik yang jumlahnya mencapai 193,6 juta. Asumsinya setiap pemudik yang diperkirakan membawa uang ke kampung 3,25 juta, maka kalau ditotal mencapai 157,3 triliun.
Besarnya jumlah perputaran uang mudik ini, berdampak terhadap bisnis UMKM dari berbagai produk, makanan, fashion, souvenir dan juga industri pariwisata, seperti tempat tempat wisata, perhotelan, rental mobil dan bisnis bisnis lain akan merasakan panen. Maka wajar ketika pemerintah menggelar karpet merah bagi pemudik menuju kampung halamannya.(*)
(lam)