home masjid

Al Ikha’: Mencari Makna Persaudaraan di Tengah Retaknya Umat

Kamis, 09 Oktober 2025 - 04:15 WIB
Di tengah dunia Islam yang kian terbelah pesan lama Rasulullah tentang ukhuwah kembali menggema. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Pagi itu di Madinah, 14 abad silam, dua kelompok besar—Aus dan Khazraj—berdiri berhadap-hadapan, nyaris menghunus pedang. Lalu Rasulullah ﷺ turun tangan. Dengan satu ayat, bara itu padam. “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu…” (Ali Imran: 103).

Ayat itu kemudian menjadi fondasi sosial peradaban Islam. Dalam tafsir Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ukhuwah (persaudaraan) adalah “nikmat terbesar” yang diberikan Allah kepada manusia, setelah iman. “Ia bukan hanya konsep moral,” tulis Qardhawi dalam Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nasyuduh (1997), “melainkan energi sosial yang menjaga masyarakat Islam tetap utuh.”

Namun, sebagaimana tali yang lama diabaikan, ikatan itu kini mulai rapuh.

Jika pada masa Rasulullah umat diikat oleh iman dan cinta kasih, kini umat terbelah oleh garis politik, sektarian, dan kepentingan ekonomi. Di media sosial, perbedaan mazhab berubah menjadi persekusi virtual. Di dunia nyata, konflik etnis dan agama masih menelan korban.

Padahal, Rasulullah bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya, tidak menyerahkannya kepada musuh, dan janganlah kamu saling membenci...” (HR. Bukhari & Muslim).

Dalam pandangan Syaikh Muhammad al-Ghazali, ukhuwah adalah inti dari peradaban Islam. “Tidak ada masyarakat Islam tanpa kasih sayang di antara anggotanya,” tulisnya dalam Al-Islam wal Audha’ al-Iqtishadiyah. Ia menegaskan bahwa solidaritas bukanlah hasil sistem ekonomi atau ideologi tertentu, melainkan konsekuensi iman. “Muslim yang sendirian akan rapuh,” tulis al-Ghazali. “Nilainya ada ketika ia menyatu dengan saudara-saudaranya.”

Dua Wajah Persaudaraan
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya