LANGIT7.ID-Di tengah dunia yang makin individualistis, tiga kata lama dari khazanah Islam tiba-tiba terasa segar kembali: ta‘awun, tanaashur, dan taraahum. Saling menolong, saling mendukung, dan saling berkasih sayang—tiga pilar sosial yang oleh ulama besar Syaikh Yusuf al-Qardhawi disebut sebagai buah sejati dari ukhuwah Islamiyah.
Dalam bukunya Malaamihu Al-Mujtama‘ Al-Muslim Alladzi Nasyuduh (Citra Islami Press, 1997), Qardhawi menulis: “Apalah artinya ukhuwah jika engkau tak membantu saudaramu ketika ia membutuhkan, tak menolongnya saat tertimpa cobaan, dan tak berbelas kasih ketika ia lemah.”
Ukhuwah, dalam pandangan Qardhawi, bukan konsep abstrak. Ia adalah kerja sosial yang nyata—menyulam kekuatan bersama dari benang cinta, empati, dan tanggung jawab moral.
Bangunan yang KokohRasulullah SAW menggambarkan relasi sosial umat beriman dengan metafora yang tak lekang waktu: “Mukmin yang satu dengan mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam satu isyarat tangan, jari-jemari beliau disilangkan—simbol keterhubungan antarindividu yang menegakkan bangunan masyarakat Islam.
Qardhawi menafsirkan: sebuah batu bata sendirian tak berarti apa-apa. Tapi jika disusun rapi dan saling menopang, ia menjadi tembok yang kokoh, bahkan rumah yang melindungi.
Dalam bahasa sosial modern, ini adalah solidaritas struktural: setiap orang menjadi bagian dari sistem yang saling bergantung. Kekuatan kolektif lahir dari keteraturan moral dan rasa saling percaya.
Tubuh yang Sakit dan DemamHadis lain menegaskan jalinan itu dalam bahasa tubuh: “Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta dan kasih sayang bagaikan satu tubuh; bila satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim)
Analogi ini lebih dari sekadar kiasan. Ia menuntut empati aktif. Bagi Qardhawi, taraahum—kasih sayang—adalah sistem imun moral umat. Ketika satu bagian tersakiti, seluruh tubuh sosial harus bergerak menyembuhkan.
Di era digital, barangkali inilah makna terdalam dari empati publik: tidak sekadar ikut bersedih di kolom komentar, tapi berbuat sesuatu untuk mengurangi luka sosial—dari bencana kemanusiaan hingga ketimpangan ekonomi.
Menolong, Tapi dengan TakwaIslam memang menyeru pada ta‘awun—tolong-menolong. Tapi Al-Qur’an memberi batas tegas: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Bagi Qardhawi, ayat ini adalah “piagam etis” kerja sosial Islam. Solidaritas tak boleh membutakan nurani. Menolong bukan berarti memihak pada yang salah, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat zalim maupun yang dizalimi.”
Saat ditanya bagaimana menolong yang berbuat zalim, Rasul menjawab:
“Cegahlah ia dari kezalimannya.” (HR. Bukhari)
Inilah bentuk ta‘awun yang paling dewasa—menahan tangan kawan agar tidak melukai. Dalam istilah Qardhawi, ini adalah “tolong-menolong dalam reformasi moral.”
Tanaashur: Menyatu dalam BarisanAyat lain dalam Al-Qur’an menegaskan fungsi tanaashur—saling mendukung: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain; mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. At-Taubah: 71)
Konsep ini, menurut Qardhawi, adalah lawan dari sifat orang munafik yang justru
tanaashur ‘ala al-munkar—bersatu dalam keburukan (At-Taubah: 67).
Solidaritas sejati, katanya, lahir dari iman yang aktif: iman yang berfungsi sosial, yang turun ke jalan untuk menegakkan keadilan dan menolak kemungkaran.
Akhirnya, Qardhawi menutup refleksinya dengan gambaran yang militeristik tapi sarat makna spiritual: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam keadaan berbaris, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaff: 4)
Dalam tafsir sosial, ayat ini bukan ajakan perang, melainkan metafora kedisiplinan kolektif.
Masyarakat Islam yang kuat adalah mereka yang berdiri dalam satu saf—bukan karena seragamnya, tapi karena kesatuan niat dan cita-cita.
*Menjahit Kembali Jaringan SosialDi tengah masyarakat modern yang terpecah oleh ego, kompetisi, dan polarisasi, pesan Qardhawi terasa makin relevan. Ta‘awun, tanaashur, dan taraahum bukan sekadar istilah dalam kitab klasik, tapi panduan membangun kembali kehangatan sosial yang makin pudar.
Umat yang berukhuwah bukanlah yang sekadar bersalaman di masjid, tapi yang saling menanggung beban.
Seperti tubuh yang sehat, ia hidup karena semua bagiannya bekerja sama.
Atau, dalam bahasa Qardhawi:
“Ukhuwah adalah napas kehidupan masyarakat Islam. Tanpanya, iman akan tinggal dalam teori, dan kasih hanya tinggal dalam kata.”
(mif)