Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 12 Oktober 2025
home masjid detail berita

Buah dari Iman yang Satu: Ukhuwwah, Jalan Menuju Wahdah

miftah yusufpati Jum'at, 10 Oktober 2025 - 15:17 WIB
Buah dari Iman yang Satu: Ukhuwwah, Jalan Menuju Wahdah
Di tengah dunia yang terbelah oleh fanatisme dan identitas, Islam menawarkan jalan yang menenangkan: persaudaraan yang menumbuhkan persatuan, seperti diajarkan Qaradawi dalam risalah sosialnya. (AI)
LANGIT7.ID-Di tengah dunia yang makin terbelah oleh identitas, Islam menegaskan satu prinsip sederhana tapi mendasar: persatuan adalah buah dari persaudaraan. Persatuan bukan hasil kompromi politik atau proyek seremonial lintas lembaga, melainkan konsekuensi dari iman yang hidup. Begitu pesan yang disampaikan ulama terkemuka, Syaikh Yusuf al-Qaradawi, dalam bukunya Malaamihu al-Mujtama‘ al-Muslim alladzi Nasyuduh (1997).

Dalam pandangan Qaradawi, masyarakat Islam yang ideal bukan sekadar kumpulan individu beriman, melainkan satu tubuh sosial yang disatukan oleh aqidah, ibadah, dan akhlak yang sama. Mereka memiliki arah pemikiran, nilai kemanusiaan, serta rujukan hukum yang satu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

“Persaudaraan yang sejati,” tulis Qaradawi, “melahirkan wahdah (kesatuan), lawan dari firqah (perpecahan).”

Dan dari situlah ukhuwwah menemukan maknanya yang paling dalam: cinta karena Allah, loyalitas karena iman, dan sikap hidup yang berorientasi pada kebenaran bersama, bukan sekadar kesamaan kelompok.

Benih dari Satu Sumber

Al-Qur’an berkali-kali menegaskan prinsip kesatuan ini. Dalam Surah Ali Imran ayat 103, Allah memerintahkan umat Islam untuk “berpegang teguh pada tali Allah dan janganlah bercerai-berai.” Ayat ini bukan sekadar seruan moral, melainkan cetak biru sosial yang membentuk karakter masyarakat Islam generasi awal.

Sejarah membuktikan, dua suku besar Madinah—Aus dan Khazraj—yang dahulu saling bermusuhan selama puluhan tahun, dipersatukan bukan oleh perjanjian politik, melainkan oleh ikatan aqidah. “Maka Allah mempersatukan hatimu,” begitu kalimat Al-Qur’an menegaskan proses itu sebagai anugerah spiritual, bukan hasil rekayasa sosial (Ali Imran: 103).

Menurut Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), ayat-ayat semacam ini menunjukkan bahwa persatuan Islam tidak bersifat struktural semata, tetapi berakar pada kesadaran etis dan spiritual. Persaudaraan dalam Islam, kata Rahman, adalah “the moral fabric of community” — jaringan moral yang menautkan individu dalam satu visi transendental: menjadi hamba Allah.

Lawan dari Ashabiyah

Namun sejarah tak pernah sunyi dari ujian. Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan bahaya ashabiyah—fanatisme kelompok yang menempatkan kesetiaan di atas kebenaran. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, beliau bersabda: “Bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar ashabiyah.”

Fanatisme golongan, suku, ras, atau mazhab adalah racun lama dalam tubuh umat. Dalam konteks modern, bentuknya bisa berubah menjadi nasionalisme sempit, politik identitas, atau loyalitas buta terhadap kelompok. Padahal, menurut Qaradawi, ukhuwwah Islamiyah berada di atas segala macam ashabiyah. Ia adalah perekat yang menundukkan perbedaan di bawah satu nilai: tauhid.

Pandangan itu sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh dalam Risalat al-Tauhid (1897), yang menyebut bahwa keimanan yang sejati “tidak membenarkan permusuhan yang didasarkan pada garis keturunan atau warna kulit.” Abduh menegaskan, iman menghapus batas-batas palsu yang diciptakan manusia.

Jalan Menuju Wahdah

Dalam tafsirnya terhadap Ali Imran: 104–105, Sayyid Qutb (Fi Zhilal al-Qur’an, 1952) menjelaskan bahwa perintah berpegang pada tali Allah diikuti oleh perintah untuk amar ma’ruf nahi munkar. Dua perintah ini saling terkait: tanpa dakwah yang aktif, ukhuwah akan layu.

Artinya, persatuan bukanlah hasil dari diam dan menahan diri, melainkan buah dari perjuangan menegakkan kebenaran bersama. Dalam bahasa Qutb, “al-jama‘ah al-muslimah tidak akan kokoh tanpa amal dan dakwah yang menjadi porosnya.”

Qaradawi menggemakan hal yang sama: yang menyatukan umat bukan simbol, melainkan manhaj—metode hidup yang berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ketika umat kehilangan manhaj itu, mereka tercerai-berai, berjalan ke kanan dan ke kiri, sementara syetan menyeret mereka ke arah yang berlawanan (Al-An‘am: 153).

Berbeda Tanpa Berpecah

Islam tak pernah menolak perbedaan. “Persatuan,” tulis Qaradawi, “bukan berarti penyeragaman.”

Perbedaan budaya, bahasa, dan tradisi justru memperkaya khazanah umat. Al-Qur’an memberi perumpamaan yang indah: “Yang disirami dengan air yang sama, Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman atas sebagian yang lain tentang rasanya.” (Ar-Ra’d: 4).

Begitu pula dalam ilmu dan ijtihad. Dalam kerangka prinsip yang sama, hasilnya boleh berbeda. Dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Amidi menulis bahwa “perbedaan dalam cabang hukum adalah rahmat, selama berpijak pada sumber yang sahih.” Maka perbedaan pendapat bukan alasan untuk berpecah, sebagaimana para sahabat berbeda tanpa saling membenci.

Dalam konteks modern, pemikiran ini bisa dibaca sebagai etika intelektual umat: perbedaan pendapat harus menjadi energi kolektif, bukan sumber perpecahan. Selama semua berpijak pada nilai tauhid dan keadilan, umat tetap satu dalam arah.

Buah yang Tertunda

Di tengah dunia Islam hari ini, seruan Qaradawi terasa seperti gema dari masa lalu yang belum ditunaikan. Perpecahan mazhab, konflik politik, hingga perang saudara di berbagai negeri Muslim memperlihatkan bagaimana ukhuwah sering menjadi slogan tanpa substansi.

Padahal, jika mengikuti nalar Al-Qur’an dan tradisi awal Islam, persatuan bukan pilihan, tapi kewajiban syar‘i.

Persatuan yang dimaksud bukan keseragaman administratif, melainkan kesadaran moral bahwa kita berjalan dalam satu jalan—sirathal mustaqim. Sebuah jalan yang, kata Al-Qur’an, “lurus dan tidak mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Al-An‘am: 153).

Dan mungkin di situlah rahasia ajaran ini: persaudaraan adalah akar, persatuan adalah buahnya. Ia tidak tumbuh dari kepentingan, tapi dari iman yang sama dan cinta yang mengikat hati.

Persatuan semacam itu, kata Qaradawi, adalah “anugerah yang hanya tumbuh di tanah ukhuwah dan disirami oleh dakwah.”

Buah yang hanya bisa dipetik bila akarnya kuat—dan dirawat bersama.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 12 Oktober 2025
Imsak
04:07
Shubuh
04:17
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan