Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 12 Oktober 2025
home masjid detail berita

Dakwah yang Membumi: Dari Salam hingga Senyum

miftah yusufpati Jum'at, 10 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Dakwah yang Membumi: Dari Salam hingga Senyum
Dalam masyarakat yang makin terburu-buru dan curiga, sapaan assalamualaikum kadang terdengar seperti formalitas kosong. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Dalam masyarakat yang makin terburu-buru dan curiga, sapaan “assalamu‘alaikum” kadang terdengar seperti formalitas kosong. Padahal dalam pandangan Islam, salam bukan basa-basi sosial, melainkan pernyataan teologis: doa keselamatan, tanda cinta, dan fondasi kebersamaan.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam Malaamihu al-Mujtama‘ al-Muslim Alladzi Nasyuduh (Citra Islami Press, 1997) menulis, Islam tidak menyukai dakwah yang hanya berhenti pada teori atau retorika. “Islam menyelaraskan antara pemikiran dengan pelaksanaan, antara konsep dengan penerapan,” tulisnya. Salah satu bentuk penerapan itu adalah menghidupkan syiar-syiar yang menumbuhkan mahabbah—cinta dan persaudaraan.

“Sebarkanlah salam di antara kalian,” sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis riwayat Muslim. Bagi Qardhawi, ucapan salam adalah simbol dakwah yang membumi, bukan di podium, tapi di jalan, di pasar, dan di rumah.

Dari Salam ke Solidaritas

M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (Mizan, 1996) menafsirkan salam sebagai bentuk penyerahan diri kepada nilai damai. Ia bukan sekadar ucapan, tapi janji sosial: bahwa orang yang mengucapkannya tidak akan menyakiti yang lain, baik dengan tangan maupun lisannya. “Salam,” tulis Quraish, “adalah energi positif yang mengalir dari iman.”

Dalam masyarakat Islam awal, salam menjadi penanda peradaban. Ia bukan sekadar tanda sopan santun, tapi mekanisme sosial yang mencairkan sekat kelas dan etnis. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah berkata:

“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang bila kalian lakukan akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara kalian.”

Pesan ini sederhana, tapi radikal. Islam ingin membangun peradaban kasih, bukan kekuasaan yang dingin.

Dakwah yang Menyentuh

Qardhawi menegaskan, Islam mengajarkan keseimbangan antara konsep dan praksis. Iman yang hanya di kepala tanpa diwujudkan dalam sikap sosial akan membeku jadi teori moral. Maka Rasulullah mencontohkan dakwah yang hangat: menjenguk orang sakit, mengucapkan takziyah, memberi hadiah, hingga tersenyum saat bertemu.

Hadis riwayat Abu Ya‘la menyebut, “Tahaaduu tahaabbu—saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.” Sementara Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan, memberi hadiah bukan hanya menumbuhkan cinta, tapi juga mengikis penyakit hati seperti sombong dan iri.

Dalam psikologi modern, konsep ini dikenal sebagai reciprocal altruism—kebaikan yang memunculkan empati sosial. Namun dalam Islam, niatnya melampaui itu: bukan sekadar timbal balik, melainkan ibadah.

Ukhuwwah yang Diuji oleh Lisan

Jika salam dan hadiah memperkuat ukhuwah, maka kebiasaan mencela dan menggunjing justru merobohkannya. Qardhawi mengingatkan bahaya akhlak sosial yang buruk—mulai dari menghina, mencari-cari kesalahan, hingga berprasangka buruk. Semua ini, katanya, “adalah racun yang meruntuhkan bangunan mahabbah.”

Al-Qur’an secara tegas menegur dalam surah Al-Hujurat (11–12):

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lain… Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar yang buruk…”

Ayat ini, kata Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (Lentera Hati, 2002), adalah “piagam sosial” Islam. Ia menegakkan adab publik: menahan lidah, menolak prasangka, dan menjaga kehormatan sesama. Dalam tafsir klasik Al-Kashshaf, al-Zamakhsyari menyebut ayat ini sebagai “pagar moral masyarakat beriman.”

Dari Madinah ke Dunia Modern

Nilai-nilai itu bukan sekadar kisah sejarah. Dalam masyarakat modern yang sibuk dengan media sosial, penyakit lama justru muncul dalam wajah baru. Olok-olok berpindah ke layar, ghibah jadi trending topic, dan prasangka disebarkan lewat komentar.

Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) mengingatkan bahwa modernitas tanpa etika akan kehilangan ruh. “Islam,” tulisnya, “adalah agama yang menuntut integrasi antara iman, ilmu, dan amal.” Tanpa itu, dakwah hanya jadi slogan, bukan perubahan sosial.

Maka, mengucapkan salam di dunia digital seharusnya berarti lebih dari sekadar emoji. Ia adalah ajakan untuk menebar kesejukan dalam percakapan yang sering kali bising dan kasar.

Menyatukan Teori dan Amal

Qardhawi menulis, Islam tidak pernah puas hanya dengan konsep. “Dakwah bukan untuk dipikirkan, tapi untuk dijalani.” Dalam kerangka itu, ajaran-ajaran sederhana—seperti salam, hadiah, atau ziarah—menjadi laboratorium cinta sosial.

Nabi SAW tidak membangun masyarakat lewat teori besar, tapi lewat tindakan kecil yang terus-menerus. Ia menjahit hubungan antarhati, bukan sekadar menyusun pasal hukum.

Hamka dalam Tafsir al-Azhar (Pustaka Nasional, 1982) menulis: “Islam hidup bukan di atas perdebatan, melainkan di atas perbuatan.”

Itulah makna mendalam dari menyelaraskan teori dengan pelaksanaan. Dalam Islam, kebenaran tidak selesai di kepala; ia baru hidup ketika diwujudkan dalam kasih, senyum, dan salam.

Akhir kata, salam bukan sekadar kata pembuka, tapi pernyataan sikap: bahwa kita hadir bukan untuk menyakiti, melainkan memberi rasa aman. Di tengah dunia yang retak oleh kebencian, mungkin dakwah paling revolusioner hari ini adalah sesederhana mengucapkan “assalamu‘alaikum” dengan hati yang tulus.

Karena dalam Islam, surga tidak dimasuki oleh mereka yang paling pandai bicara, tetapi oleh mereka yang paling mampu menebarkan cinta.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 12 Oktober 2025
Imsak
04:07
Shubuh
04:17
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan