LANGIT7.ID-“Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah.” Pepatah itu akrab di telinga umat Islam. Tetapi bagi Syaikh Yusuf Qardhawi, amal bukan sekadar etika, melainkan fondasi peradaban. Dalam bukunya
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah (1997), ia menegaskan, amal adalah buah ilmu sekaligus buah iman.
Qur’an sendiri mengikat erat keduanya. “Iman dan amal shalih” disebut berulang kali dalam puluhan ayat. Tafsir klasik menegaskan: iman yang sejati harus melahirkan amal. “Iman adalah sesuatu yang meresap dalam hati dan dibuktikan dengan amal,” ujar ulama salaf, sebagaimana dikutip Qardhawi.
Imam Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam
Adz-Dzari’ah ila Makaarim al-Syari’ah, menyebut tiga tujuan utama amal manusia: ibadah, khilafah, dan
imaarah (memakmurkan bumi). Ketiganya saling terkait. Kerja produktif untuk memakmurkan bumi bisa bernilai ibadah, dan sekaligus perwujudan tugas khalifah.
Al-Qur’an menegaskan: manusia diciptakan “untuk beribadah” (Adz-Dzariyat: 56), menjadi khalifah di bumi (Al-Baqarah: 30), dan memakmurkan bumi (Hud: 61). Amal shalih, karena itu, tak berhenti di ruang ibadah ritual, tapi meluas ke bidang ekonomi, sosial, hingga politik.
Dari Kebun Kurma hingga Pabrik BajaKerja, dalam pandangan Islam, adalah ibadah. Rasulullah SAW menegaskan, memetik kayu bakar untuk dijual lebih baik ketimbang meminta-minta (HR. Bukhari). Bahkan, menanam bibit kurma menjelang kiamat sekalipun tetap dianjurkan (HR. Ahmad). Pesan simboliknya jelas: kerja produktif tak boleh berhenti, sampai detik terakhir kehidupan.
Qardhawi mencatat, bangsa Arab pra-Islam terbiasa mengandalkan patronase kepala suku ketimbang bekerja. Islam datang mengoreksi. Pertanian, industri, bahkan pertambangan dipandang sebagai ibadah bila diniatkan benar dan dilakukan
itqan—sebaik-baiknya.
Al-Qur’an tak sekadar mendorong amal, melainkan amal yang
ahsan—yang terbaik. “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya” (Al-Mulk: 2). Perlombaan itu bukan sekadar antara baik dan buruk, tapi antara baik dan terbaik. Maka, dalam ayat lain, umat diminta berdialog dengan cara terbaik (An-Nahl: 125), menolak dengan cara terbaik (Al-Mukminun: 96), dan mengikuti sebaik-baik wahyu yang diturunkan (Az-Zumar: 55).
Pesan terakhir Qardhawi amat politis sekaligus visioner: umat Islam akan meraih kejayaan bila kembali memaknai amal sebagai kerja produktif. Dengan kerja yang ditopang ilmu, umat tak akan bergantung pada bangsa lain untuk pangan, teknologi, maupun pertahanan. “Seandainya umat lain tidak disuplai oleh umat Islam, mereka akan kelaparan dan hina,” tulisnya.
Sejarah membuktikan, ketika amal dan ilmu berjalan seiring, peradaban Islam menjulang tinggi. Dari Baghdad hingga Andalusia, ulama sekaligus ilmuwan melahirkan temuan-temuan besar. Pertanyaannya kini: apakah umat Islam modern sanggup menghidupkan kembali spirit amal itu—bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai kerja produktif yang menopang peradaban?
(mif)