Ketika Mesin Litografi, Kitab Cetak, dan Polemik Keagamaan Membentuk Wajah Islam di Nusantara
Miftah yusufpati
Sabtu, 11 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Dari batu kapur litograf, lahir kitab-kitab yang menyalin kalam suci dan menggandakan ilmu. Abad ke-19 menandai saat Islam tak hanya diajarkan di pesantren, tapi juga dicetak di atas kertas. (AI)
LANGIT7.ID-“Muhammad adalah manusia, tapi bukan manusia seperti lainnya. Ia bagai batu yakut di antara bebatuan.”
Kalimat itu tercetak rapi di halaman depan Kayfiyyat Khatm Qur’an, buku panduan mengkhatamkan Al-Quran yang terbit di Bombay pada 1877. Ia bukan sekadar doa, tapi juga penanda zaman baru—ketika ajaran agama mulai diproduksi massal dengan batu kapur dan tinta hitam.
Michael Laffan, sejarawan asal Princeton University, menulis dalam The Makings of Indonesian Islam (2011) bahwa abad ke-19 menjadi masa peralihan penting bagi Islam di Asia Tenggara. Peralihan itu tidak datang dari perang atau politik, melainkan dari percetakan. “Batu kapur litografi menjadi senjata utama para propagandis Muslim dalam membentuk ortodoksi baru Mekah yang semakin seragam,” tulis Laffan.
Percetakan litografis memungkinkan penyalinan huruf Arab dan kaligrafi dengan bentuk yang nyaris menyerupai tulisan tangan. Sebelum teknologi itu, naskah-naskah Islam disalin manual oleh juru tulis. Satu mushaf bisa memakan waktu berbulan-bulan, dan hanya dimiliki kalangan elite pesantren.
Di Asia Tenggara, terobosan datang lewat jalur dagang dan misi. Di Singapura, penerjemah Munsyi Abdullah mencetak Sulalat al-Salatin pada 1841—langkah awal penyebaran teknologi litografi di dunia Melayu. Tak lama kemudian, tokoh Riau-Lingga, Raja Ali Haji, menerbitkan Hikayat Sultan Abd al-Muluk (1845). Namun puncaknya datang dari Palembang, ketika seorang ulama bernama Kemas Haji Muhammad Azhari memproduksi Al-Quran cetak pertama pada 1854. Harga satu mushaf mencapai 25 gulden—setara biaya naskah salinan profesional.
Usahanya berbuah cepat. Dalam waktu singkat, Palembang, Surabaya, dan Singapura menjadi simpul percetakan keagamaan. Di Surabaya, Husayn al-Habsyi mencetak teks maulid Syaraf al-Anam (1853); di Riau, Raja Ali Haji menulis panduan bahasa dan kalender hari baik di Pulau Penyengat. Islam, untuk pertama kalinya, menyebar bukan hanya lewat guru dan tarekat, tapi juga lewat kertas dan tinta.
Kitab untuk Jemaah Kapal Uap
Kalimat itu tercetak rapi di halaman depan Kayfiyyat Khatm Qur’an, buku panduan mengkhatamkan Al-Quran yang terbit di Bombay pada 1877. Ia bukan sekadar doa, tapi juga penanda zaman baru—ketika ajaran agama mulai diproduksi massal dengan batu kapur dan tinta hitam.
Michael Laffan, sejarawan asal Princeton University, menulis dalam The Makings of Indonesian Islam (2011) bahwa abad ke-19 menjadi masa peralihan penting bagi Islam di Asia Tenggara. Peralihan itu tidak datang dari perang atau politik, melainkan dari percetakan. “Batu kapur litografi menjadi senjata utama para propagandis Muslim dalam membentuk ortodoksi baru Mekah yang semakin seragam,” tulis Laffan.
Percetakan litografis memungkinkan penyalinan huruf Arab dan kaligrafi dengan bentuk yang nyaris menyerupai tulisan tangan. Sebelum teknologi itu, naskah-naskah Islam disalin manual oleh juru tulis. Satu mushaf bisa memakan waktu berbulan-bulan, dan hanya dimiliki kalangan elite pesantren.
Di Asia Tenggara, terobosan datang lewat jalur dagang dan misi. Di Singapura, penerjemah Munsyi Abdullah mencetak Sulalat al-Salatin pada 1841—langkah awal penyebaran teknologi litografi di dunia Melayu. Tak lama kemudian, tokoh Riau-Lingga, Raja Ali Haji, menerbitkan Hikayat Sultan Abd al-Muluk (1845). Namun puncaknya datang dari Palembang, ketika seorang ulama bernama Kemas Haji Muhammad Azhari memproduksi Al-Quran cetak pertama pada 1854. Harga satu mushaf mencapai 25 gulden—setara biaya naskah salinan profesional.
Usahanya berbuah cepat. Dalam waktu singkat, Palembang, Surabaya, dan Singapura menjadi simpul percetakan keagamaan. Di Surabaya, Husayn al-Habsyi mencetak teks maulid Syaraf al-Anam (1853); di Riau, Raja Ali Haji menulis panduan bahasa dan kalender hari baik di Pulau Penyengat. Islam, untuk pertama kalinya, menyebar bukan hanya lewat guru dan tarekat, tapi juga lewat kertas dan tinta.
Kitab untuk Jemaah Kapal Uap