home masjid

Kisah Khalifah Utsman bin Affan Membebaskan Armenia

Senin, 17 November 2025 - 05:44 WIB
Pada akhirnya, Armenia tunduk. Tetapi sama seperti Azerbaijan, pembebasan itu menandai permulaan tahap baru: kekhalifahan yang semakin luas dan semakin sulit dikendalikan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Letak Armenia membuatnya selalu berada di persimpangan sejarah. Negeri pegunungan itu berdempetan dengan daerah-daerah yang dibebaskan pasukan Walid bin Uqbah pada awal kekhalifahan Utsman bin Affan. Sejak lama, Armenia adalah wilayah yang hidup di antara dua dunia: Persia dan Romawi. Pada periode tertentu ia merdeka, pada periode lain tubuhnya dibagi dua—setengah dikuasai Sasaniyah, setengah lagi dibekap Bizantium.

Muhammad Husain Haekal dalam Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaanmencatat bahwa wilayah Armenia masa itu jauh lebih luas dari yang dikenal kini. Al-Baladhuri menuliskannya sebagai empat Armenia—Pertama hingga Keempat—membentang dari Syamsyat hingga tepian Laut Kaspia. Suatu negeri perbatasan yang terbiasa hidup dalam ritme serbuan, pemberontakan, dan diplomasi paksa.

Pada masa Umar, setelah Heraklius terusir dari Syam dan Antakiah jatuh, Khalid bin Walid sempat menggempur Mar’asy, Syamsyat, hingga daerah-daerah yang berada dalam genggaman Bizantium. Akan tetapi operasi itu tidak menghasilkan struktur politik baru. Khalid membawa pulang rampasan perang tanpa membuat perjanjian jizyah atau perlindungan. Armenia tetap tak tersentuh sebagai wilayah kekhalifahan, hanya menerima gema pukulan yang membuatnya gelisah.

Ketika Bizantium berusaha bangkit—mengirim kapal-kapal ke Antakiah dan memicu pemberontakan di Hims, Halab, serta kota-kota utara Syam—pasukan Muslim kembali masuk. Pertahanan Romawi runtuh dalam serangan cepat. Iyad bin Ganam menyeberang, sementara Khalid memukul wilayah Armenia hingga Amid dan Ruha. Tetapi sekali lagi, setelah kemenangan itu, tidak ada bangunan administratif yang dibangun. Tak ada hak-hak atau kewajiban jizyah yang ditetapkan. Armenia tetap wilayah abu-abu: terpukul, tapi tidak terikat.

Ketidakpastian itulah yang diwarisi Utsman. Armenia yang tidak dibina pasca-operasi Umar berubah menjadi wilayah rawan fitnah. Dari utara, Bizantium selalu mengincar celah untuk merebut kembali Syam. Dari dalam, penduduk Armenia yang tak pernah masuk dalam perjanjian politik menunggu kesempatan untuk membangkang.

Beberapa sejarawan modern menilai kondisi Armenia ketika itu memang tidak stabil. Hugh Kennedy dalam The Great Arab Conquestsmenulis bahwa wilayah-wilayah pegunungan seperti Armenia lebih sulit dikendalikan bukan hanya karena medan, tetapi juga karena elite lokalnya yang terbiasa bernegosiasi keras dengan dua kekuatan besar. Sementara al-Baladhuri menggambarkan Armenia sebagai negeri yang "senantiasa menunggu pasukan Bizantium" untuk bangkit melawan, sehingga setiap serangan Muslim hanya menghasilkan kepatuhan sementara.

Pada masa awal Utsman, pembebasan kembali Armenia menjadi kebutuhan strategis. Syam tidak boleh dibiarkan terbuka dari sisi utara. Kekhalifahan membutuhkan garis pertahanan yang pasti, bukan wilayah abu-abu yang sewaktu-waktu berubah menjadi celah.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya