LANGIT7.ID, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki dugaan
praktik monopoli usaha google dan anak usahanya. Google diduga menyalahi beberapa aturan usaha.
Google diduga melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi secara digital di Indonesia.
Keputusan mengenai penyelidikan ini diambil berdasarkan hasil Rapat Komisi pada 14 September 2022. KPPU menduga raksasa mesin pencarian itu melanggar UU No 5 Tahun 1999.
"KPPU selama beberapa bulan terakhir melakukan penelitian inisiatif yang berkaitan dengan Google," tulis siaran pers KPPU yang diterima
Langit7, Ahad (18/9/2022).
Baca Juga: Belajar Agama Lewat Internet, Hati-Hati Cari Rujukan di GooglePenelitian difokuskan pada kebijakan Google yang mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu.
Sebagai informasi, GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store.
Penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan atau fee kepada aplikasi sebesar 15-30 persen dari pembelian.
Kebijakan penggunaan GPB tersebut mewajibkan aplikasi yang diunduh dari Google Play Store harus menggunakan GPB sebagai metode transaksinya.
Penyedia konten atau pengembang (developer) aplikasi wajib memenuhi ketentuan yang ada dalam GPB tersebut.
Google juga tidak tidak memperbolehkan penggunaan alternatif pembayaran lain di GPB. Kebijakan penggunaan GPB tersebut efektif diterapkan pada 1 Juni 2022.
Menurut penelitian KPPU, Google Play Store merupakan platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93 persen.
Terdapat beberapa platform lain yang turut mendistribusikan aplikasi, seperti Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery. Namun layanan tersebut bukan perbandingan yang sepadan bila dibandingkan dengan Play Store milik Google.
KPPU juga menemukan, Google memberlakukan kebijakan untuk mewajibkan penggunaan GBP untuk pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi yang didistribusikan di Google Play Store.
"Aplikasi yang terkena kewajiban ini tidak dapat menolak kewajiban, karena Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi tersebut dari Google Play Store atau tidak diperkenankan dilakukan update atas aplikasi tersebut. Artinya aplikasi tersebut akan kehilangan konsumennya," tambah KPPU.
Menurut KPPU, kewajiban ini memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif tinggi, yakni 15-30 peren dari harga konten digital yang dijual.
Sebelum adanya kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5 persen. Menurut KPPU, selain mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan harga, kewajiban ini juga mengakibatkan terganggunya user experience konsumen atau pengguna akhir aplikasi.
Selain itu, KPPU juga menduga Google melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda, yaitu mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling, aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran).
KPPU juga menemukan, dalam pembelian di aplikasi, Google hanya bekerja sama dengan salah satu penyedia payment gateway/system. Sementara beberapa penyedia lain di Indonesia tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam menegosiasikan metode pembiayaan tersebut.
Praktik ini berbeda dengan kebijakan yang ditujukan bagi digital content provider secara global, Google memungkinkan mereka untuk kerja sama dengan payment system alternatif.
Berdasarkan analisis KPPU, berbagai perbuatan Google tersebut dapat berdampak pada upaya pengembangan konten lokal yang tengah digalakkan pemerintah Indonesia.
"Dalam proses penelitian, KPPU telah mendengarkan pendapat dari berbagai pihak. Kebijakan Google tersebut merupakan bentuk persaingan usaha tidak sehat di pasar distribusi aplikasi secara digital," ujarnya.
Berdasarkan Rapat Komisi pada 14 September 2022, KPPU memutuskan untuk melanjutkan penelitian terhadap Google dalam bentuk penyelidikan dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Proses penyelidikan akan dilakukan selama 60 (enam puluh) hari kerja ke depan, guna memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran undang-undang.
(bal)