LANGIT7.ID, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian akan memberikan subsidi besar-besaran kepada pembeli
kendaraan listrik. Namun hal ini dinilai belum ada urgensinya.
Insentif yang diberikan pun tak tanggung-tanggung, yang besarannya diketahui sebagai berikut:
1. Mobil listrik: Rp80 juta;
2. Mobil hibrida: Rp40 juta;
3. Motor listrik: Rp8 juta;
4. Motor konversi: Rp5 juta.
Peneliti
Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, insenstif yang diberikan pemerintah untuk pembelian kendaraan listrik belum urgen.
"Subsidi ke
mobil listrik belum urgen karena tidak peka terhadap menyempitnya ruang fiskal, apalagi angkanya cukup besar," kata dia kepada
Langit7 Ahad (18/12/2022).
Menurutnya, sasaran subsidi mobil listrik bermasalah karena cenderung menjadi subsidi bagi kalangan menengah atas. Bahkan hal itu justru akan menambah masalah baru, seperti kemacetan di jalan raya yang masih menjadi masalah klasik.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Insentif Kendaraan Listrik"Kenapa bukan subsidi angkutan kota yang nyaman dan bisa diandalkan. Sehingga masyarakat bisa bergeser ke transportasi publik rendah emisi," tegasnya.
Sementara itu, juga masih ada beberapa catatan terkait subsidi motor listrik. Salah satunya potensi meningkatnya barang impor dan suku cadang impor, terutama ketika produsen dalam negeri belum siap memenuhi permintaan.
"Untuk baterai saja impornya kan tinggi, karena Indonesia masih mengekspor nikel setengah jadi, sementara baterai jadinya impor. Khawatir di hilir motor listrik didorong, nanti defisit transaksi berjalan bisa melebar dan ada efek ke pelemahan kurs rupiah," ungkapnya.
Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menambahkan, transisi energi tidak bisa dilakukan hanya dengan perbaikan di pengguna kendaraan bermotor.
Sebab, sumber hulu energi primer listrik memiliki ketergantungan terhadap batubara cukup tinggi. Hal ini tentu akan mendorong PLTU Batubara terus berjalan dan menciptakan polusi yang tetap tinggi.
"Kalau yang pakai motor listrik makin banyak tapi PLTU batubara jalan terus, nanti polusi udara tetap tinggi dan eksploitasi batubara bisa makin masif dilakukan," katanya.
Dia menegaskan, subsidi utama harus diberikan untuk percepatan transisi energi primer listrik. Sehingga bukan pada pada pengguna kendaraannya.
"Efek transisi energi dalam hal ini juga masih tanggung. Karena bahan baku baterai masih berasal dari nikel yang masuk kategori energy intensive sector, yakni butuh pembangkit PLTU Batubara di kawasan industri smelter," jelasnya.
Manfaat Kendaraan Listrik versi PemerintahSebelumnya, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, pemberian subsidi untuk kendaraan listrik dapat mempercepat penggunaan kendaraan listrik di Indonesia. Sebab ada beberapa manfaat yang bakal didapatkan.
Seperti, pemanfaatan cadangan nikel lebih optimal, pengurangan subsidi BBM, menarik banyak investor, dan mencapai komitmen Indonesia untuk emisi rendah karbon.
Namun demikian, insentif yang diberikan pemerintah itu dinilai kurang tepat sasaran. Sebab, kendaraan listrik dinilai masih tergolong ke dalam barang mewah.
Wakil Ketua BAKN DPR RI, Anis Byarwati menilai insentif mobil listrik kurang tepat dilakukan. Pasalnya, kendaraan listrik bukan menjadi kebutuhan, karena rakyat lebih membutuhkan bantuan yang punya dampak ekonomi langsung kepada kesejahteraannya.
"BAKN DPR RI meminta Pemerintah meninjau ulang pemberian insentif bagi kendaraan listrik. Sebab jenis kendaraan tersebut masih tergolong barang mewah," katanya.
Dikatakan barang mewah, karena memang rasio kepemilikan mobil yang masih rendah. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pernah menyebut bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa, rasio kepemilikan mobil masih 99 dari 1.000 penduduk.
(bal)