LANGIT7.ID-Jakarta; Cuaca panas ekstrem yang dirasakan di berbagai wilayah Indonesia selama beberapa hari terakhir ternyata bukan sekadar efek pergantian musim. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ada perpaduan faktor atmosfer dan posisi semu Matahari yang berperan besar terhadap suhu tinggi di bulan Mei 2025 ini.
Dalam laporannya untuk periode 29 April–5 Mei 2025, BMKG menyebut bahwa masa pancaroba ditandai dengan radiasi matahari yang tinggi di siang hari dan kelembapan yang masih cukup tinggi. Cuaca terik pun menjadi dominan, terlebih saat langit cerah tanpa banyak awan.
“Perpaduan radiasi matahari yang tinggi, dan kelembaban udara yang juga cukup tinggi, masyarakat tetap waspada terhadap potensi suhu udara yang relatif panas pada pagi hingga siang hari, dan cuaca signifikan pada sore hingga malam hari,” tulis BMKG dalam laporan tersebut.
Kondisi ini diperparah oleh kecepatan angin yang relatif lemah di sejumlah lokasi. Minimnya angin membuat panas yang terkumpul di permukaan tidak tersebar secara merata, sehingga suhu terasa makin menyengat. Data pengamatan menunjukkan bahwa suhu maksimum tertinggi pekan ini tercatat di Stasiun Meteorologi Juanda, Jawa Timur sebesar 37,9°C. Diikuti oleh Tanah Merah, Papua Selatan (37°C), serta Tangerang Selatan (35,4°C).
Di sisi lain, pergeseran posisi semu Matahari juga menjadi penyebab utama penyinaran maksimum di wilayah Indonesia. Saat ini, posisi deklinasi Matahari berada di 11,2 derajat lintang utara, membuat radiasi matahari yang diterima di Indonesia sangat intensif.
Meski panas menyengat mendominasi, sejumlah wilayah Indonesia justru masih berada di masa transisi antara musim hujan dan musim kemarau. BMKG menyatakan bahwa awal musim kemarau 2025 di Indonesia berlangsung bertahap sejak April hingga Juni. Beberapa wilayah telah memasuki musim kemarau pada Mei, seperti sebagian kecil Sumatera, sebagian besar Jawa Tengah hingga Jawa Timur, sebagian Kalimantan Selatan, Bali, dan Papua bagian selatan.
“Puncak musim kemarau 2025 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus 2025,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Dwikorita menyebut, jika dibandingkan dengan rata-rata klimatologi periode 1991–2020, sebanyak 207 Zona Musim (ZOM) atau 30% wilayah Indonesia akan mengalami awal kemarau pada waktu yang sama dengan biasanya. Sementara itu, 204 ZOM atau 29% akan mengalami kemarau lebih lambat, dan 104 ZOM atau 22% lebih cepat dari biasanya.
Wilayah yang diperkirakan mengalami awal musim kemarau sesuai waktu normalnya antara lain Sumatera, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, sebagian Maluku, dan sebagian Maluku Utara. Adapun daerah yang mengalami keterlambatan musim kemarau di antaranya Kalimantan bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, sebagian Sulawesi, Maluku Utara, dan Merauke.
Selain memetakan waktu awal musim kemarau, BMKG juga merilis analisis tentang sifat musim kemarau 2025. Hasilnya, mayoritas wilayah Indonesia diperkirakan akan mengalami kondisi kemarau yang normal. Sebanyak 416 ZOM atau 60% wilayah mengalami musim kemarau normal, sementara 185 ZOM (26%) lebih basah dari rata-rata, dan 98 ZOM (14%) lebih kering dari biasanya.
Wilayah dengan musim kemarau yang lebih basah dari normal antara lain sebagian kecil Aceh, sebagian besar Lampung, Jawa bagian barat dan tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian kecil Sulawesi dan Papua tengah. Sementara wilayah yang diperkirakan lebih kering dari biasanya termasuk Sumatera bagian utara, Kalimantan Barat bagian kecil, Sulawesi tengah, Maluku Utara, dan Papua bagian selatan.
Mengenai dinamika laut dan atmosfer, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengonfirmasi bahwa tidak ada pengaruh besar dari fenomena iklim global seperti El Niño, La Niña, maupun Indian Ocean Dipole (IOD). Pada awal Maret 2025, suhu muka laut menunjukkan bahwa fenomena La Niña telah beralih ke fase netral, demikian pula dengan IOD.
“Jadi utamanya adalah karena tidak adanya dominasi iklim global seperti El Nino, La Nina, dan IOD. Oleh karena itu, prediksi kami untuk iklim tahun ini adalah normal dan tidak sekering tahun 2023 yang berdampak pada banyak kebakaran hutan. Musim kemarau tahun 2025 cenderung mirip dengan kondisi musim kemarau tahun 2024,” pungkas Ardhasena.
Dengan kondisi yang cenderung netral, masyarakat tetap diimbau untuk waspada terhadap suhu panas dan potensi hujan lokal yang bisa datang tiba-tiba saat sore hingga malam hari. Cuaca panas di pagi dan siang hari bukan hanya soal ketidaknyamanan, tapi juga bisa berdampak pada kesehatan jika tidak diantisipasi dengan baik.
(lam)