LANGIT7.ID–Jakarta; Pemerintah Indonesia mulai mengambil langkah strategis dengan mengalihkan sumber impor bahan bakar minyak (BBM) dari Singapura ke kawasan Timur Tengah dan Amerika Serikat. Keputusan ini diambil sebagai upaya menyesuaikan arah geopolitik dan menyeimbangkan hubungan dagang, serta menjawab dinamika harga yang dinilai tidak lagi menguntungkan.
Selama ini, sekitar 54–59 persen kebutuhan BBM nasional dipasok dari Singapura. Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menilai kebijakan ini sudah perlu dievaluasi. Ia menyatakan bahwa harga yang ditawarkan negara tetangga tersebut justru lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain yang jaraknya lebih jauh.
“Justru harusnya lebih murah dong. Masa barang dekat dia bikin lebih mahal. Tidak hanya itu, ini ada persoalan geopolitik, geoekonomi. Kita kan harus juga membuat keseimbangan bagi yang lain,” ujar dia dalam keterangannya, dikutip Minggu (11/5/2025)
Dalam rapat bersama Presiden Prabowo Subianto pada April 2025 lalu, Bahlil menjelaskan bahwa peningkatan impor energi dari AS juga bertujuan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan antara kedua negara. Meski data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan surplus 14,5 miliar dolar AS, catatan Amerika justru berbeda. Untuk itu, pemerintah menargetkan nilai impor energi dari AS melampaui 10 miliar dolar AS.
“Ini bukan penambahan kuota impor, tapi hanya mengalihkan sumber pembelian dari negara lain ke Amerika,” kata Bahlil.
Pengalihan sumber BBM ini tidak dilakukan secara drastis, melainkan bertahap. Pemerintah menargetkan peralihan total akan dimulai pada November 2025. Prosesnya mencakup penurunan porsi dari Singapura secara gradual sebesar 50–60 persen hingga benar-benar dihentikan sepenuhnya.
“Setelah saya cek, kok harganya sama dibandingkan dengan dari negara Middle East. Ya, kalau begitu kita mulai berpikir, kita akan mengambil minyak dari negara lain yang bukan dari negara itu,” ujar Bahlil.
Sejalan dengan rencana itu, Pertamina saat ini tengah membangun dermaga baru agar kapal-kapal berkapasitas besar dapat bongkar muat BBM secara efisien. Fasilitas ini diharapkan mampu mengurangi biaya logistik dan mempercepat distribusi.
“Jadi kita membangun yang besar, supaya satu kali angkut, enggak ada masalah. Maka, pelabuhannya yang diperbesar, dan kedalamannya harus dijaga,” jelas Bahlil.
Amerika Serikat dipastikan menjadi salah satu mitra utama dalam pasokan energi ke depan. Pemerintah RI juga telah memiliki perjanjian kerja sama dengan AS yang mencakup pembelian berbagai komoditas energi seperti crude oil, BBM, dan gas petroleum cair (LPG).
“Kan kita sudah mempunyai perjanjian dengan Amerika. Salah satu di antara yang kita tawarkan itu adalah, kita harus membeli beberapa produk dari mereka. Di antaranya adalah BBM, crude, dan LPG,” ungkapnya.
Dari sisi porsi, pemerintah menargetkan peningkatan signifikan untuk sejumlah komoditas energi dari Amerika. Untuk LPG, porsi impor dari AS akan naik dari 54 persen menjadi 65–80 persen. Sementara crude oil akan meningkat dari di bawah 4 persen menjadi lebih dari 40 persen.
Selama ini, kebutuhan energi nasional sebagian besar dipenuhi dari kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara. Namun, dinamika pasar dan arah kebijakan pemerintah membuat peta impor Indonesia kini mulai bergeser ke arah yang lebih seimbang secara ekonomi dan politik.
(lam)