LANGIT7.ID -  
Wasathiyyah berasal dari kata 
wasath yang berarti di tengah, adil, baik, dan seimbang. Dalam bahasa sehari-hari, wasathiyah kerap diartikan sebagai moderat atau bersikap pertengahan dalam segala hal.
Jika menilik sejarah Islam, istilah 
wasathiyyah atau moderat tidak bisa dipisahkan dari sejarah lahirnya kelompok ekstrem seperti Khawarij dan Murji'ah. Khawarij adalah salah satu sekte atau aliran menyimpang yang awalnya berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Namun membelot bahkan mengkafirkan beliau karena dianggap tak lagi menegakkan hukum Allah Ta’ala.
Hal Itu dilatarbelakangi keputusan Ali bin Abi Thalib menerima peristiwa tahkim (perdamaian) yang diajukan kelompok Muawiyah, yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam pasca peperangan Shiffin pada 37 H.
Khawarij memahami Al-Qur’an dan hadits secara tekstual. Dari situ mereka menuduh Ali tak lagi istiqomah di jalan Allah karena menerima perdamaian dengan Muawiyah. Mereka lalu menuding orang yang tak berhukum dengan hukum Allah sebagai pengkhianat agama. Orang yang tak sependapat dengan mereka dianggap kafir.
Sementara Murji'ah bertolak belakang dengan Khawarij. Salah satu konsep pemikiran adalah adalah kemaksiatan tidak akan mempengaruhi keimanan. Sehingga bagi mereka tidak ada orang menjadi kafir dengan kemaksiatan selama sudah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Mereka memahami dalil secara serampangan dan cenderung kontekstual, namun tidak berdasarkan metode yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. 
Paham seperti ini masih bisa ditemui pada masyarakat muslim saat ini. Ada yang terlalu kaku memahami teks agama, sehingga cenderung menyalahkan dan menyesatkan kelompok lain yang berbeda pemahaman.
Ada pula yang terlalu longgar dan sangat bebas dalam beragama, sehingga cenderung menjadikan agama sebagai mainan atau pun sebagai hiasan bibir saja. Kedua kelompok ini bukan representasi dari kelompok ideal dalam Islam, sebagaimana disinggung oleh Rasulullah SAW;
“Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap terlalu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama. Karena sesungguhnya hal yang menghancurkan umat sebelum kalian adalah lantaran sikap terlalu berlebih-lebihan dalam beragama.” (HR Ibnu Majah dari Sayyidina Ibnu Abbas).
Maka sikap ideal sebagai seorang muslim yakni berada di jalur 
mutawassith, yaitu muslim yang berada di pertengahan, tidak ekstrem kanan dan tidak pula ekstrem kiri. Dalam artinya harus bijaksana dalam beragama. Bijaksana dalam membaca dan menelaah ajaran agama secara komprehensif (menyeluruh), baik Al-Qur’an maupun hadits.
Kekeliruan berpikir akhir-akhir ini disebabkan karena mayoritas umat Islam tidak mau berguru atau belajar mendalami ajaran agama mereka. Sehingga tidak heran jika hari ini banyak dai-dai dadakan yang tak mengerti konsep fatwa dalam Islam.
Kerap bermodalkan satu ayat, para dai dadakan itu menyalahkan kelompok lain. Padahal, berdasarkan kaidah para ulama, satu ayat Al-Qur’an pasti menafsirkan ayat lain dan satu hadist menjelaskan hadist lain. Maka ketika menemukan satu ayat dalam Al-Qur’an atau pun hadis harus dipahami secara menyeluruh sebelum diamalkan dan disampaikan.
Satu ayat harus dikaitkan dengan ayat lain. Satu hadits perlu dikaitkan dengan hadits lain. Sangat banyak kaidah penafsiran dan kaidah hadits yang harus dikuasai sebelum mengamalkan lahiriah sebuah dalil. Jika belum memiliki ilmu tentang kaidah itu, maka wajib belajar dan berguru pada ulama yang sudah menguasai ilmu-ilmu tersebut. 
“Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui jika kalian belum mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 42)
Dengan mempelajari agama seperti itu, seseorang bisa terhindar dari sikap berlebih-lebihan dalam beragama, yakni ekstrem kanan atau radikal yang tekstual memahami dalil. Juga terhindar dari ekstrem kiri atau liberal dimana terlalu kontekstual sampai melupakan prinsip-prinsip dalam agama.
Dalam artinya, seorang muslim harus bersikap objektif dalam membaca segala persoalan dan bijaksana dalam menyikapinya. Dari sikap seperti itu keadilan akan terwujud. 
“Dan Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. Al-BAqarah: 143).
Seorang yang moderat akan bersikap adil dalam menilai sesama muslim. Orang yang moderat akan menghargai eksistensi orang lain yang berbeda pendapat serta tidak mencela atau menjelek-jelekkan mereka.
Teladan dari semua sikap moderat ini adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak hadits, beliau menekankan prinsip-prinsip kesetaraan, saling menghargai antara satu sama lain, serta menebar kebaikan dan rahmat kasih sayang kepada setiap manusia dan alam semesta. Ini yang dibangun oleh nabi dan para sahabat saat hijrah ke Madinah.
Beliau membangun Madinah dengan pluralitas kehidupan yang menyertainya. Beliau hidup damai berdampingan dengan kaum yahudi dan Nasrani di kota itu. Maka itu, sebagai umat Islam yang hidup era penuh fitnah saat ini, kita harus menjadi juru damai. Bukan sebaliknya menjadi perusak dan penghancur kehidupan manusia lain.
Sumber: Artikel tulisan Ustadz Yunal Isra di cariustadz.id(jqf)