LANGIT7.ID–Jakarta; Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS), dijadwalkan bertemu Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, minggu depan. Kunjungan ini menandai hubungan Washington–Riyadh yang semakin erat.
Beberapa isu besar seperti kerja sama pertahanan dan energi akan jadi fokus utama. Namun akan ada banyak topik lain yang dibahas, mulai dari bidang pertambangan, mineral tanah jarang (rare earth), kecerdasan buatan (AI), hingga program nuklir sipil.
Sebagai bukti kemitraan mendalam, sehari setelah MBS bertemu Trump, kedua belah pihak akan menggelar forum bisnis besar.
Menurut sumber yang mengetahui rencana tersebut, delegasi Saudi bakal datang dengan sekitar 1.000 orang, termasuk hampir semua menteri.
Kesepakatan PertahananMeskipun ramai diberitakan bahwa Saudi berencana membeli jet tempur siluman F-35 buatan Lockheed Martin, kenyataannya kesepakatan ini masih jauh dari final.
Pejabat AS mengatakan masih ada pembicaraan untuk menjual sekitar 50 unit F-35 ke Saudi. Bloomberg melaporkan, seorang pejabat pemerintah menyebut Trump diperkirakan akan menyetujui penjualan tersebut saat bertemu MBS.
Namun menurut Bernard Haykel, Profesor Studi Timur Dekat di Universitas Princeton, Saudi mungkin sudah tidak terlalu berminat.
“Saya rasa Saudi tidak akan membeli F-35, dan alasannya adalah karena ada syarat dari AS,” kata Haykel dalam sebuah webinar bersama Arab Gulf States Institute.
Dia menjelaskan tentang “kill switch” atau saklar pemutus yang membuat AS bisa mengendalikan jet tersebut, bahkan Saudi harus minta izin hanya untuk memindahkan pesawat dari satu pangkalan ke pangkalan lain. “Itu melanggar kedaulatan. Kalau sudah beli, harusnya bisa dipakai bebas. Selama syarat itu belum dicabut, saya rasa Saudi tidak akan beli,” lanjutnya.
Haykel juga menyoroti biaya perawatan yang sangat mahal dan harga pembelian yang mencapai miliaran dolar.
Di sisi lain, Trump diprediksi akan menawarkan bentuk perlindungan pertahanan kepada Saudi jika terjadi serangan.
Sebelumnya setelah serangan Israel ke Doha tahun ini, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang berjanji akan merespons jika Qatar diserang. Meski begitu, komitmen tersebut tidak setara dengan perjanjian pertahanan yang harus disetujui Senat.
Saudi kemungkinan akan mendapatkan komitmen serupa, tetapi dengan jaminan yang lebih konkret dalam bentuk perjanjian bilateral yang tidak bisa dibatalkan semudah perintah eksekutif oleh presiden berikutnya.
Mantan Duta Besar AS untuk Saudi, Michael Ratney, mengatakan, kewajiban semacam ini akan memperkuat kerja sama militer kedua negara.
“Mereka ingin sesuatu yang lebih permanen, yang bertahan melampaui pemerintahan saat ini. Mereka ingin jaminan bahwa hubungan ini tidak bergantung pada siapa presidennya,” ujar Ratney dalam podcast CSIS.
Kerja Sama Nuklir SipilSaudi juga tengah mengembangkan program nuklir energi sipil.
Di masa pemerintahan AS sebelumnya, Washington dan Riyadh hampir mencapai kesepakatan yang mencakup kerja sama nuklir sipil. Namun saat itu, topik ini dikaitkan dengan normalisasi hubungan Saudi–Israel. Kini, administrasi Trump tampaknya memisahkan kedua isu tersebut.
Saudi tetap bersikeras bahwa normalisasi dengan Israel hanya mungkin jika ada jalan yang jelas dan tidak bisa dibalik menuju pembentukan negara Palestina. Namun opsi ini berkali-kali ditolak Pemerintah Israel dan parlemen (Knesset) di bawah PM Benjamin Netanyahu.
Haykel memperkirakan Saudi mungkin akan menunda rencana pengayaan uranium, tetapi akan menuntut “payung nuklir” dari AS, misalnya penempatan sistem nuklir AS di wilayahnya.
Langkah ini juga sejalan dengan visi Saudi untuk mengurangi emisi karbon melalui program Vision 2030.
Jika tercapai, kesepakatan ini akan membuka peluang bagi perusahaan AS untuk membangun PLTN di Saudi, sekaligus memberi AS akses untuk memastikan program nuklir Saudi tetap digunakan untuk tujuan damai.
Menurut Undang-Undang Energi Atom AS (Atomic Energy Act) Pasal 123, negara lain harus memenuhi sembilan syarat pencegahan proliferasi nuklir sebelum AS bisa bekerjasama dalam teknologi ini.
Kecerdasan BuatanTopik AI dan teknologi semikonduktor dipastikan menjadi salah satu agenda utama di Gedung Putih.
Bulan ini, Duta Besar Saudi untuk AS, Putri Reema bint Bandar, memaparkan keuntungan yang bisa diberikan Saudi dalam pengembangan AI. Di antaranya adalah lahan yang murah, akses energi mudah, dan tenaga kerja tersedia.
Saudi serius ingin menjadi pemain global di bidang kecerdasan buatan. CEO HUMAIN, perusahaan AI utama milik mereka, bahkan menargetkan Saudi sebagai penyedia AI terbesar ketiga dunia—di bawah AS dan China.
Mineral tanah jarang (rare earth) yang saat ini dikuasai China juga akan dibahas.
Para analis mengatakan, Saudi ingin membangun kemitraan jangka panjang dengan AS dalam AI, termasuk inovasi bersama, pembangunan infrastruktur data, dan peningkatan kapasitas SDM. Mereka tidak ingin hanya jadi “tuan rumah data,” tetapi ingin membangun ekosistem AI lokal.
HUMAIN bahkan sudah meluncurkan sistem operasi baru yang diklaim bisa menggantikan Windows dan macOS, dengan kemampuan interaksi menggunakan AI percakapan.
“Mereka punya ambisi besar dan sedang menunggu investasi dari perusahaan-perusahaan besar AS untuk membangun pusat data. Mereka ingin mengembangkan industri AI sendiri, termasuk kecerdasan yang menggerakkannya, bukan cuma hosting data,” ujar Ratney.
“Tapi saya rasa mereka menginginkan jaminan yang kuat bahwa AS akan menjadi mitra yang benar-benar mendampingi mereka dalam pengembangan program AI ini.”
(lam)