LANGIT7.ID -  Cucu salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, Prof. Dr. Husnan Bey Fananie menceritakan bahwa Presiden pertama RI Ir Soekarno pernah belajar Islam secara langsung kepada kakeknya KH Zainuddin Fananie saat berada di Bengkulu.
Husnan mengatakan Zainuddin Fananie adalah kader Muhammadiyah. Dia mengikuti gerakan-gerakan keormasan Muhammadiyah di Yogyakarta. Beliau juga belajar di salah madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta. 
“Pada tahun 1925 beliau dikirim ke Sumatera menjadi kader Muhammadiyah untuk berdakwah dan mendirikan cabang-cabang di sana. Beliau bertiga, Zainuddin Fananie untuk Sumatera bagian selatan, Malik Siddiq di Sumatera Tengah, dan Buya Hamka di Deli, Medan Aceh, hingga Padang. Ketiganya ini adalah kader Muhammadiyah yang mendirikan Muhammadiyah se-Sumatera. Yang paling tua dari tiga tokoh ini adalah Pak Fananie, karena lahir pada 1905. Buya Hamka pada 1908, Malik Siddiq 1907,” tutur Husnan.
Saat di Sumatera, KH Zainuddin Fananie berkeliling Sumatera untuk mendirikan cabang Muhammadiyah. Mulai dari Palembang, Pagar Alam, hingga Bengkulu.
Di daerah itulah kisah pertemuan KH Zainuddin Fananie dengan Bung Karno. Pada 1930, saat Bung Karno dibuang Belanda ke Bengkulu, dia bertemu dengan Ketua Muhammadiyah Bengkulu, Hasan Din. Bung Karno datang untuk belajar Islam dan ke-Muhammadiyah-an. 
“Tapi Hasan ini bilang, Jangan belajar sama saya, belajar sama Tuan Guru saya, beliau adalah KH Zainuddin Fananie. Setiap bulan dia akan ke Bengkulu. Nanti Bung akan ketemu dengan beliau. Maka bertemulah Bung Karno dengan Fananie pada tahun 30-an dan belajar Islam,” kata Husnan.
Selain orang kepercayaan KH Zainuddin Fananie untuk memimpin Muhammadiyah Bengkulu, Hasan Din juga merupakan ayah dari Fatmawati. Saat Bung Karno melamar Fatmawati, KH Zainuddin Fananie yang menjadi perantara dan menjadi saksi.
Kedekatan Bung Karno dengan KH Zainuddin Fananie juga terjadi saat Jepang masuk ke Bengkulu dan Palembang. Bung Karno dilarikan ke sebuah rumah di Empat Ulu, Palembang. Rumah itu milik seorang pengusaha kaya bernama Haji Muhammad Aqil. Haji Aqil adalah bapak angkat Zainuddin Fananie, karena dia diangkat dan diasuh menjadi anak serta tinggal di rumah itu.
“Bung Karno disembunyikan di rumah itu. Beliau disembunyikan di rumah itu, di Empat Ulu, sebelum berangkat ke Jawa ketika Jepang masuk,” ucap Husnan. Dia menceritakan, persahabatan Bung Karno dan KH Zainuddin Fananie sangat erat. Selain jembatan mempersunting Fatmawati, KH Zainuddin Fananie juga menjadi guru Bung Karno.
Hingga pada satu momen, KH Zainuddin mengisahkan kepada Bung Karno tentang keruntuhan Kesultanan Ottoman di Turki pada 1924. Secara umum, umat Islam pada saat terpecah-belah. Negara-negara mayoritas muslim dijajah oleh Eropa. Termasuk Indonesia.
“Pak Fananie bercerita tentang kehancuran itu kepada Bung Karno. Setelah kehancuran kekhalifahan itu harus bangkit kembali, harus nyalakan kembali bara api semangat persatuan umat. Diceritakan kepada Bung Karno, muslim boleh hancur karena terpecah-pecah, tapi dia punya akidah, punya gerakan, tetap harus besar. Kita harus selalu berfikir kembali Islam yang tercerai berai ini. Pemahaman ini dibawa oleh Abduh dari Mesir, disebut dengan Pan Islamisme. Maka, Bung Karno meresponnya dengan semangat menggelora,” ucap Husnan.
Saat mendengar cerita itu, jiwa santri Bung Karno muncul. Bahkan L Stoddard mengutip kata-kata Bung Karno dalam bukunya, “Api Islam tidak akan pernah padam. Indonesia ke depan akan memiliki kekuatan api Islam itu. Api Islam itu tidak hanya mempersatukan umat Islam di seluruh dunia, tapi Pan Islamisme akan menyatukan Indonesia.” 
Jiwa santri Bung Karno itu dibawa hingga berhasil mengajak kesultanan di seluruh nusantara untuk bersatu. Pada saat itu, nusantara masih diisi kesultanan-kesultanan seperti Kesultanan Aceh, Kesultanan Riau, Kesultanan Banten, Kesultanan Bone, Kesultanan Gowa, hingga Kesultanan Tidore.
“Indonesia bersatu sudah. Indonesia bersatu dengan 
Laa ilaha illallah. Maka seluruh kesultanan pada 1945 mereka dengan rela dengan ikhlas menyerahkan kedaulatan mereka sebagai kesultanan untuk masuk ke sebuah ke sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini sejarah harus dilihat dipelajari, dibaca,” kata Husnan.
Pada 1936, KH Zainuddin Fananie pulang ke Jawa dan menceritakan perjalanan dakwahnya kepada kakaknya KH Ahmad Sahal. Pada saat itu, KH Ahmad Sahal langsung mengajak KH Zainuddin Fananie dan KH Imam Zarkasyi untuk mengembangkan Gontor.
(jqf)