Menikah, antara Fitrah dan Syariat: Ketika Nafsu Bertemu Tuntunan Ilahi
Miftah yusufpati
Kamis, 26 Juni 2025 - 17:00 WIB
Di tengah era kebebasan, menghidupkan kembali visi Al-Quran soal pernikahan adalah kerja yang tidak populer, tapi mendesak. Ilustrasi: New York Times
LANGIT7.ID-Hasrat ingin berpasangan adalah fitrah manusia, seperti halnya lapar memanggil makan dan lelah menuntut istirahat. Namun, jika lapar hanya menuntut sepotong roti dan lelah terbayar dengan tidur, maka fitrah ingin berpasangan jauh lebih kompleks. Ia menyentuh urat terdalam eksistensi manusia: kesepian, cinta, syahwat, bahkan harga diri.
Itulah sebabnya Al-Qur’an tidak sekadar mengakui eksistensi dorongan ini, tapi juga mengarahkan dan menuntunnya.
Dalam tafsir tematiknya "Wawasan Al-Qur’an", Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa pernikahan bukan hanya soal pertemuan antara laki-laki dan perempuan, melainkan juga transformasi kegelisahan menjadi ketenangan—yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sakinah (QS Ar-Rum [30]: 21). Sakinah berasal dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenang setelah bergelora.
Dalam penggambaran Quraish Shihab, sakinah bukan ketenangan pasif seperti kematian, tapi semacam diam aktif yang membawa kedamaian jiwa. Menariknya, ia menyebutkan bahwa dari akar kata yang sama, muncul kata sikkin(pisau) karena ia menjadikan hewan sembelihan berhenti meronta—sebuah ilustrasi metaforis tentang ketenangan pasca-gejolak.
Baca juga: Indahnya Pernikahan: Jalan Menuju Ketenangan, Kesucian, dan Keberlanjutan Umat
Namun, ketenangan itu tak serta merta dapat diraih oleh siapa saja yang ingin menikah. Al-Qur’an memberi beberapa prasyarat: kesiapan fisik, mental, dan ekonomi. Meski demikian, ketidakmampuan finansial bukan alasan mutlak untuk menolak peminangan, karena “Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kekayaan dari karunia-Nya” (QS An-Nur [24]: 32). Tapi, bagi mereka yang belum siap, perintahnya jelas: “Hendaklah menahan diri dan menjaga kesucian” (QS An-Nur [24]: 33).
Persoalannya, dalam praktik, nilai-nilai luhur ini seringkali tereduksi oleh budaya dan struktur sosial. Pada masyarakat Jahiliah, seperti dikisahkan oleh Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pernikahan tidak selalu lahir dari penghormatan terhadap martabat perempuan. Ada empat jenis perkawinan yang dikenal: mulai dari yang formal dan sah secara sosial, hingga hubungan bebas para wanita tunasusila yang memasang tanda di pintu rumah mereka. Bahkan, dikenal praktik “kawin kualitas”—di mana seorang suami “meminjamkan” istrinya untuk tidur dengan laki-laki lain demi mendapatkan keturunan yang dianggap unggul.
Itulah sebabnya Al-Qur’an tidak sekadar mengakui eksistensi dorongan ini, tapi juga mengarahkan dan menuntunnya.
Dalam tafsir tematiknya "Wawasan Al-Qur’an", Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa pernikahan bukan hanya soal pertemuan antara laki-laki dan perempuan, melainkan juga transformasi kegelisahan menjadi ketenangan—yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sakinah (QS Ar-Rum [30]: 21). Sakinah berasal dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenang setelah bergelora.
Dalam penggambaran Quraish Shihab, sakinah bukan ketenangan pasif seperti kematian, tapi semacam diam aktif yang membawa kedamaian jiwa. Menariknya, ia menyebutkan bahwa dari akar kata yang sama, muncul kata sikkin(pisau) karena ia menjadikan hewan sembelihan berhenti meronta—sebuah ilustrasi metaforis tentang ketenangan pasca-gejolak.
Baca juga: Indahnya Pernikahan: Jalan Menuju Ketenangan, Kesucian, dan Keberlanjutan Umat
Namun, ketenangan itu tak serta merta dapat diraih oleh siapa saja yang ingin menikah. Al-Qur’an memberi beberapa prasyarat: kesiapan fisik, mental, dan ekonomi. Meski demikian, ketidakmampuan finansial bukan alasan mutlak untuk menolak peminangan, karena “Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kekayaan dari karunia-Nya” (QS An-Nur [24]: 32). Tapi, bagi mereka yang belum siap, perintahnya jelas: “Hendaklah menahan diri dan menjaga kesucian” (QS An-Nur [24]: 33).
Persoalannya, dalam praktik, nilai-nilai luhur ini seringkali tereduksi oleh budaya dan struktur sosial. Pada masyarakat Jahiliah, seperti dikisahkan oleh Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pernikahan tidak selalu lahir dari penghormatan terhadap martabat perempuan. Ada empat jenis perkawinan yang dikenal: mulai dari yang formal dan sah secara sosial, hingga hubungan bebas para wanita tunasusila yang memasang tanda di pintu rumah mereka. Bahkan, dikenal praktik “kawin kualitas”—di mana seorang suami “meminjamkan” istrinya untuk tidur dengan laki-laki lain demi mendapatkan keturunan yang dianggap unggul.