LANGIT7.ID-Hasrat ingin berpasangan adalah fitrah manusia, seperti halnya lapar memanggil makan dan lelah menuntut istirahat. Namun, jika lapar hanya menuntut sepotong roti dan lelah terbayar dengan tidur, maka fitrah ingin berpasangan jauh lebih kompleks. Ia menyentuh urat terdalam eksistensi manusia: kesepian, cinta, syahwat, bahkan harga diri.
Itulah sebabnya Al-Qur’an tidak sekadar mengakui eksistensi dorongan ini, tapi juga mengarahkan dan menuntunnya.
Dalam tafsir tematiknya "
Wawasan Al-Qur’an",
Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa pernikahan bukan hanya soal pertemuan antara laki-laki dan perempuan, melainkan juga transformasi kegelisahan menjadi ketenangan—yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sakinah (QS Ar-Rum [30]: 21). Sakinah berasal dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenang setelah bergelora.
Dalam penggambaran Quraish Shihab, sakinah bukan ketenangan pasif seperti kematian, tapi semacam diam aktif yang membawa kedamaian jiwa. Menariknya, ia menyebutkan bahwa dari akar kata yang sama, muncul kata
sikkin (pisau) karena ia menjadikan hewan sembelihan berhenti meronta—sebuah ilustrasi metaforis tentang ketenangan pasca-gejolak.
Baca juga: Indahnya Pernikahan: Jalan Menuju Ketenangan, Kesucian, dan Keberlanjutan Umat Namun, ketenangan itu tak serta merta dapat diraih oleh siapa saja yang ingin menikah. Al-Qur’an memberi beberapa prasyarat: kesiapan fisik, mental, dan ekonomi. Meski demikian, ketidakmampuan finansial bukan alasan mutlak untuk menolak peminangan, karena “Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kekayaan dari karunia-Nya” (QS An-Nur [24]: 32). Tapi, bagi mereka yang belum siap, perintahnya jelas: “Hendaklah menahan diri dan menjaga kesucian” (QS An-Nur [24]: 33).
Persoalannya, dalam praktik, nilai-nilai luhur ini seringkali tereduksi oleh budaya dan struktur sosial. Pada masyarakat Jahiliah, seperti dikisahkan oleh Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
pernikahan tidak selalu lahir dari penghormatan terhadap martabat perempuan. Ada empat jenis perkawinan yang dikenal: mulai dari yang formal dan sah secara sosial, hingga hubungan bebas para wanita tunasusila yang memasang tanda di pintu rumah mereka. Bahkan, dikenal praktik “kawin kualitas”—di mana seorang suami “meminjamkan” istrinya untuk tidur dengan laki-laki lain demi mendapatkan keturunan yang dianggap unggul.
Islam datang menghapus semua itu, kecuali bentuk pernikahan yang pertama: yang melibatkan pinangan, mahar, dan restu wali. Dalam catatan Quraish Shihab, ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya mengarahkan kepada adab, tapi juga menutup celah penyimpangan. Misalnya larangan menikahi istri ayah (ibu tiri) yang sebelumnya masih dibolehkan dalam beberapa tradisi, bahkan secara suka sama suka (QS An-Nisa’ [4]: 22).
Seiring modernisasi, tantangan baru muncul. Lajang menua, relasi memburam antara status dan syahwat, dan perkawinan tak lagi jadi norma sosial tunggal. Tapi bagi umat Islam, pesan kitab suci tetap tegas: menikah adalah sunah Rasul, jalan sakinah, dan puncak dari keteraturan sosial dan spiritual. Fitrah memang tak bisa dimatikan, tapi hanya bisa dikawal.
Baca juga: Pernikahan Paksa dalam Pandangan Islam: Antara Hukum, Hak, dan Keadilan Dan kawalan itu, jika tak datang dari syariat, bisa datang dari jebakan. Sebab, bila fitrah ditinggal liar tanpa petunjuk, yang terjadi bukan sakinah, melainkan kegelisahan yang mencari bentuk lain: pornografi, kekerasan seksual, hubungan tak sah, hingga rusaknya tatanan keluarga.
Di tengah era kebebasan, menghidupkan kembali visi Al-Qur’an soal pernikahan adalah kerja yang tidak populer, tapi mendesak. Bukan untuk memaksa orang menikah, tapi agar mereka yang memilihnya, paham bahwa yang dicari bukan sekadar pasangan, tapi ketenteraman jiwa—yang tak bisa dibeli dengan aplikasi atau dibangun hanya dengan cinta.
(mif)