Fir’aun, Haman, dan Qarun: Koalisi Gelap Kekuasaan
Miftah yusufpati
Senin, 06 Oktober 2025 - 04:15 WIB
Firaun, Haman, dan Qarun bukan sekadar kisah masa lalu. Mereka adalah cermin kekuasaan, politik, dan harta yang bersatu melawan kebenaran di setiap zaman. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Sejarah kerap mengulang dirinya, meski dalam wajah berbeda. Dalam Al-Qur’an, tiga sosok menjadi simbol kebusukan kekuasaan: Fir’aun, sang diktator; Haman, politikus oportunis; dan Qarun, kapitalis rakus. Mereka bukan sekadar tokoh masa lalu, melainkan representasi abadi tentang bagaimana kekuasaan, politik, dan harta bisa bersekutu melawan kebenaran.
Fir’aun tampil arogan: “Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS Al-Qashash: 38). Qarun pongah dengan hartanya: “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS Al-Qashash: 78). Dan Haman, menteri setia Fir’aun, mengerahkan kecerdikannya bukan untuk rakyat, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan tiran.
Kisah mereka bukan sekadar dongeng religius. Ulama klasik maupun pemikir kontemporer menegaskan, ketiganya adalah peringatan politik yang terus relevan.
Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Qutb menyebut Fir’aun sebagai simbol “thughyan”—kekuasaan yang melampaui batas. Ia menundukkan rakyat Mesir dengan propaganda, kekerasan, dan kultus pribadi. Fir’aun bukan hanya menindas Bani Israil, tapi juga memaksa rakyat Mesir tunduk pada narasi tunggal: bahwa dirinya tuhan.
Sejarawan Mesir, Muhammad Abu Zahrah, menulis bahwa kecaman Al-Qur’an terhadap Fir’aun tidak berhenti pada sosoknya, melainkan pada sistem yang dibangun. “Fir’aunisme” adalah model tirani yang menutup pintu kritik, menolak musyawarah, dan menjadikan hukum sekadar alat legitimasi.
Haman: Politikus Oportunis
Nama Haman muncul enam kali dalam Al-Qur’an, selalu berdampingan dengan Fir’aun. Yusuf Qardhawi dalam Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim(1997) menegaskan, Haman adalah prototipe birokrat yang menjual akal dan kreativitasnya demi kepentingan tiran. Ia diminta Fir’aun membangun menara tinggi, simbol kesombongan sekaligus tipu daya politik.
Fir’aun tampil arogan: “Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS Al-Qashash: 38). Qarun pongah dengan hartanya: “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS Al-Qashash: 78). Dan Haman, menteri setia Fir’aun, mengerahkan kecerdikannya bukan untuk rakyat, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan tiran.
Kisah mereka bukan sekadar dongeng religius. Ulama klasik maupun pemikir kontemporer menegaskan, ketiganya adalah peringatan politik yang terus relevan.
Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Qutb menyebut Fir’aun sebagai simbol “thughyan”—kekuasaan yang melampaui batas. Ia menundukkan rakyat Mesir dengan propaganda, kekerasan, dan kultus pribadi. Fir’aun bukan hanya menindas Bani Israil, tapi juga memaksa rakyat Mesir tunduk pada narasi tunggal: bahwa dirinya tuhan.
Sejarawan Mesir, Muhammad Abu Zahrah, menulis bahwa kecaman Al-Qur’an terhadap Fir’aun tidak berhenti pada sosoknya, melainkan pada sistem yang dibangun. “Fir’aunisme” adalah model tirani yang menutup pintu kritik, menolak musyawarah, dan menjadikan hukum sekadar alat legitimasi.
Haman: Politikus Oportunis
Nama Haman muncul enam kali dalam Al-Qur’an, selalu berdampingan dengan Fir’aun. Yusuf Qardhawi dalam Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim(1997) menegaskan, Haman adalah prototipe birokrat yang menjual akal dan kreativitasnya demi kepentingan tiran. Ia diminta Fir’aun membangun menara tinggi, simbol kesombongan sekaligus tipu daya politik.