home masjid

Itsar, Cinta di Atas Kepentingan Diri: Etika yang Hilang di Dunia Individualistik

Jum'at, 10 Oktober 2025 - 05:45 WIB
Masyarakat yang beritsar bukanlah masyarakat tanpa konflik, tapi masyarakat yang saling menenangkan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di zaman ketika banyak orang sibuk mengamankan kepentingan sendiri, kata itsar terdengar seperti dongeng lama. Padahal dalam tradisi Islam, itsar—mendahulukan kepentingan orang lain di atas diri sendiri—adalah puncak keimanan sosial. Ia bukan sekadar altruisme, melainkan spiritualitas yang meletakkan cinta dan solidaritas di atas ego.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi, dalam bukunya Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim Alladzi Nasyuduh (Citra Islami Press, 1997), menulis: “Derajat tertinggi setelah cinta dan kebersihan hati adalah itsar. Ia rela lapar untuk mengenyangkan saudaranya, rela berjaga agar saudaranya beristirahat.”

Itsar bukan ideal moral yang utopis. Ia pernah hidup nyata di Madinah, dalam masyarakat kecil yang dibentuk Rasulullah SAW. Di kota itulah, ayat Al-Qur’an (Al-Hasyr: 9) turun memuji kaum Anshar yang membuka rumah dan hati bagi para Muhajirin:

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”

Anshar dan Keajaiban Solidaritas

Kisah itsar kaum Anshar selalu diceritakan dengan haru. Saat kaum Muhajirin datang dari Makkah tanpa harta, kaum Anshar menyambut mereka dengan kasih. Dalam riwayat Bukhari, Sa’ad bin Rabi’ menawarkan kepada Abdurrahman bin Auf separuh hartanya, bahkan salah satu istrinya untuk dinikahi. Abdurrahman menolak halus, cukup ditunjukkan jalan ke pasar.

Satu memberi tanpa pamrih, yang lain menolak dengan harga diri. Keduanya menampilkan dua wajah etika Islam: kemurahan hati dan kehormatan diri. Di situlah, kata Qardhawi, masyarakat Islam ideal menemukan bentuknya: saling menolong tanpa menghinakan, memberi tanpa pamrih, dan menerima tanpa serakah.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya