LANGIT7.ID-Di zaman ketika banyak orang sibuk mengamankan kepentingan sendiri, kata itsar terdengar seperti dongeng lama. Padahal dalam tradisi Islam, itsar—mendahulukan kepentingan orang lain di atas diri sendiri—adalah puncak keimanan sosial. Ia bukan sekadar altruisme, melainkan spiritualitas yang meletakkan cinta dan solidaritas di atas ego.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi, dalam bukunya Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim Alladzi Nasyuduh (Citra Islami Press, 1997), menulis: “Derajat tertinggi setelah cinta dan kebersihan hati adalah itsar. Ia rela lapar untuk mengenyangkan saudaranya, rela berjaga agar saudaranya beristirahat.”
Itsar bukan ideal moral yang utopis. Ia pernah hidup nyata di Madinah, dalam masyarakat kecil yang dibentuk Rasulullah SAW. Di kota itulah, ayat Al-Qur’an (Al-Hasyr: 9) turun memuji kaum Anshar yang membuka rumah dan hati bagi para Muhajirin:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
Anshar dan Keajaiban SolidaritasKisah itsar kaum Anshar selalu diceritakan dengan haru. Saat kaum Muhajirin datang dari Makkah tanpa harta, kaum Anshar menyambut mereka dengan kasih. Dalam riwayat Bukhari, Sa’ad bin Rabi’ menawarkan kepada Abdurrahman bin Auf separuh hartanya, bahkan salah satu istrinya untuk dinikahi. Abdurrahman menolak halus, cukup ditunjukkan jalan ke pasar.
Satu memberi tanpa pamrih, yang lain menolak dengan harga diri. Keduanya menampilkan dua wajah etika Islam: kemurahan hati dan kehormatan diri. Di situlah, kata Qardhawi, masyarakat Islam ideal menemukan bentuknya: saling menolong tanpa menghinakan, memberi tanpa pamrih, dan menerima tanpa serakah.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menafsirkan ayat ini sebagai gambaran masyarakat yang “bebas dari dengki dan cinta dunia.” Bagi Anshar, kata Quraish, harta hanyalah sarana, bukan sumber identitas. Mereka tahu, rezeki adalah titipan yang berpindah sesuai kehendak Allah.
Cinta yang Melampaui Batas DiriDalam psikologi modern, sikap seperti itsar mungkin disebut empathy altruism. Tapi Al-Qur’an menempatkannya lebih tinggi: bukan hanya empati, melainkan pengorbanan yang didorong iman. Bukan sekadar “ingin membantu”, tapi “tak bisa tenang sebelum saudaranya tenang.”
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Madarij al-Salikin menyebut itsar sebagai derajat para shiddiqin—mereka yang membenarkan keimanannya dengan tindakan. “Itsar,” tulisnya, “adalah puncak dari kedermawanan, karena ia memberi bukan dari kelebihan, tapi dari kekurangan.”
Dalam konteks sosial, itsar menjadi fondasi masyarakat yang beradab. Qardhawi menulis, “Islam ingin agar mahabbah dan ukhuwwah meluas di antara bangsa-bangsa, tanpa terpecah oleh perbedaan warna, bahasa, atau status.” Itulah antitesis dari dunia yang diwarnai ketimpangan sosial dan egoisme nasionalistik.
Politik Itsar: Pemimpin yang DicintaiNilai itsar juga menembus wilayah kekuasaan. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, kamu mendoakan mereka dan mereka mendoakan kamu.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini, cinta bukan perasaan sentimental, melainkan relasi timbal balik antara rakyat dan pemimpin. Pemimpin yang berjiwa itsar tidak mencari keuntungan pribadi, tapi menanggung beban bersama. Qardhawi menulis, “Pemerintah hanyalah wakil umat, bukan tuannya.”
Di zaman modern, tafsir ini menggema dalam gagasan servant leadership—pemimpin sebagai pelayan publik. Ketika pejabat berebut fasilitas, sementara rakyat antre beras murah, semangat itsar seolah menguap. Padahal dalam sejarah Islam, kekuasaan tanpa pengorbanan selalu melahirkan krisis moral.
Itsar di Tengah Dunia IndividualistikHari ini, masyarakat hidup dalam logika “aku duluan.” Dalam politik, ekonomi, bahkan ibadah sosial. Amal menjadi kompetisi citra, bukan lagi bukti cinta. Di tengah dunia yang kian individualistik, itsar seperti mata air di padang tandus.
Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) menulis, nilai sosial Islam seperti itsar harus dihidupkan kembali bukan sebagai romantisme sejarah, tapi sebagai energi etis melawan dehumanisasi modern. “Masyarakat Islam awal bertahan bukan karena hukum, tapi karena empati yang diwujudkan,” tulisnya.
Itsar adalah antitesis kapitalisme moral: ketika memberi berarti kehilangan. Dalam pandangan Islam, memberi justru memperluas keberkahan. “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Hasyr: 9)
Dari Madinah ke DuniaJika Madinah adalah miniatur masyarakat itsar, maka dunia hari ini adalah kebalikannya: kaya tapi dingin. Negara-negara bersaing menimbun, sementara banyak yang lapar di perbatasan. Di sinilah pesan Al-Qur’an menemukan relevansinya.
Ulama kontemporer seperti Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyebut itsar sebagai “jiwa sosial Islam yang menolak penindasan.” Dalam pandangan Hamka, bangsa yang kehilangan semangat itsar akan hidup dalam curiga dan iri. “Karena itu,” tulisnya, “ukhuwwah Islamiyah hanya bisa hidup bila itsar hidup.”
Akhir kata, masyarakat yang beritsar bukanlah masyarakat tanpa konflik, tapi masyarakat yang saling menenangkan. Ia bukan utopia, tapi cita-cita yang pernah hidup dan mungkin hidup kembali—jika manusia berani menundukkan egonya.
Di Madinah, kaum Anshar membuka rumah bagi orang asing. Di Jakarta, barangkali kita hanya perlu membuka hati bagi yang berbeda. Karena dalam pandangan Islam, ukuran keimanan bukan seberapa besar kita mencintai diri sendiri, tapi seberapa rela kita kehilangan demi orang lain.
(mif)