Percetakan Sufi: Ketika Mesin Cetak Menjadi Jalan Baru Menuju Tuhan
Miftah yusufpati
Jum'at, 10 Oktober 2025 - 19:48 WIB
Peran percetakan melengkapi keunggulan Naqsyabandiyyah dalam menaklukkan jejaring keagamaan di Asia Tenggara. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di suatu percetakan sederhana di Singapura tahun 1870, seorang murid asal Palembang menyalin naskah gurunya di atas lembaran litograf tipis. Judulnya Futuh al-‘Arifin—“Kemenangan Kaum Berilmu”. Di halaman pertama tercetak nama Ahmad Khatib dari Sambas, ulama kelana dari Kalimantan yang menggabungkan dua tarekat besar: Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah.
Tak ada yang istimewa bagi mata awam. Tapi bagi sejarah Islam Nusantara, buku itu menjadi simbol lahirnya modernitas religius, saat ajaran tasawuf mulai berpindah dari lisan dan manuskrip menjadi teks tercetak—terjangkau, berlipat, dan menyebar.
Sejarawan Michael Laffan, dalam The Makings of Indonesian Islam(2011), menulis bahwa “peran percetakan melengkapi keunggulan Naqsyabandiyyah” dalam menaklukkan jejaring keagamaan di Asia Tenggara. Mesin cetak, tulisnya, menjadi tangan baru para sufi.
Laffan mencatat bahwa keberhasilan Naqsyabandiyyah tidak hanya disebabkan oleh silsilah Mekahnya, tapi juga karena kelincahan mereka menguasai teknologi teks. Di Jabal Abi Qubays—perbukitan yang menaungi Mekah—para syekh Naqsyabandi Suriah menerbitkan buku-buku panduan tarekat seperti Jami‘ al-Usul fi al-Awliya’karya Ahmad al-Kumushkhanawi dan al-Bahja al-Saniyya karya Abd al-Majid al-Khani.
Buku-buku itu dicetak di Istanbul, Beirut, dan Kairo, lalu dibawa pulang oleh para haji Jawi. Bersama tasbih dan air zamzam, kitab cetak menjadi oleh-oleh spiritual yang berharga.
Gelombang penerbitan itu mengilhami para ulama Nusantara. Ahmad Khatib dari Sambas menerbitkan Futuh al-‘Arifindi Singapura, lalu versi tipografisnya—yang lebih rapi—muncul di Mekah tahun 1887 dengan judul baru, Fath al-‘Arifin. Laffan menulis bahwa “litografi murahan di pelabuhan Melayu” segera berubah menjadi **bisnis pengetahuan dan zikir**.
Pasar Tarekat dan Patron Dagang
Tak ada yang istimewa bagi mata awam. Tapi bagi sejarah Islam Nusantara, buku itu menjadi simbol lahirnya modernitas religius, saat ajaran tasawuf mulai berpindah dari lisan dan manuskrip menjadi teks tercetak—terjangkau, berlipat, dan menyebar.
Sejarawan Michael Laffan, dalam The Makings of Indonesian Islam(2011), menulis bahwa “peran percetakan melengkapi keunggulan Naqsyabandiyyah” dalam menaklukkan jejaring keagamaan di Asia Tenggara. Mesin cetak, tulisnya, menjadi tangan baru para sufi.
Laffan mencatat bahwa keberhasilan Naqsyabandiyyah tidak hanya disebabkan oleh silsilah Mekahnya, tapi juga karena kelincahan mereka menguasai teknologi teks. Di Jabal Abi Qubays—perbukitan yang menaungi Mekah—para syekh Naqsyabandi Suriah menerbitkan buku-buku panduan tarekat seperti Jami‘ al-Usul fi al-Awliya’karya Ahmad al-Kumushkhanawi dan al-Bahja al-Saniyya karya Abd al-Majid al-Khani.
Buku-buku itu dicetak di Istanbul, Beirut, dan Kairo, lalu dibawa pulang oleh para haji Jawi. Bersama tasbih dan air zamzam, kitab cetak menjadi oleh-oleh spiritual yang berharga.
Gelombang penerbitan itu mengilhami para ulama Nusantara. Ahmad Khatib dari Sambas menerbitkan Futuh al-‘Arifindi Singapura, lalu versi tipografisnya—yang lebih rapi—muncul di Mekah tahun 1887 dengan judul baru, Fath al-‘Arifin. Laffan menulis bahwa “litografi murahan di pelabuhan Melayu” segera berubah menjadi **bisnis pengetahuan dan zikir**.
Pasar Tarekat dan Patron Dagang