LANGIT7.ID-, Jakarta- -
Film Buya Hamka menjadi rekomendasi tontonan positif dan inspiratif pengisi Syawal. Karya terbaru Fajar Bustomi itu menghadirkan sebuah tontonan spektakuler yang memuaskan di berbagai aspek.
Film tersebut mengangkat kisah tokoh nasional seperti Buya Hamka memang tidak mudah. Para produser tidak ragu untuk mengeluarkan biaya produksi fantastis yang konon mencapai puluhan miliar rupiah.
Dari nilai produksinya yang jauh dari kata murahan. Lokasi dan desain set film dipilih dengan cermat agar dapat menggambarkan era tahun 1940-an yang menjadi latar belakang cerita. Kostum para karakter juga tidak terlalu modern atau kuno, sehingga memperkuat aspek visual.
Baca juga;
Film Buya Hamka Jadi Film Termahal Sepanjang Sejarah Perfilman IndonesiaScoring musik sepanjang film juga tampak megah dan menjadi salah satu aspek yang paling menonjol. Semua itu berkat tangan dingin Purwacaraka yang sudah berpengalaman sebagai penata musik selama puluhan tahun karirnya.
Proyek Film Buya Hamka semakin tampak saat melihat deretan aktor Indonesia yang bergabung dalam film tersebut. Sejak awal, Buya Hamka sudah menjanjikan format ensemble cast yang diisi oleh aktor-aktor hebat.
Ada Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, Donny Damara, Teuku Rifku Wikana, Verdi Solaiman, hingga Desy Ratnasari yang menjadi pemain penting dalam tiga babak cerita Buya Hamka.
Sejumlah aktor lain yang juga terkenal bergabung dalam film ini, baik dalam peran yang lebih kecil atau sebagai kameo, seperti Marthino Lio, Mawar de Jongh, Reza Rahadian, Mathias Muchus, Ferry Salim, Anjasmara, hingga Ayu Laksmi.
Direktur Eksekutif Rumah Kepemimpinan Indonesia, Adi Wahyu Adji, menilai, kepopuleran Film Buya Hamka sudah menjadi perbincangan publik sejak Ramadhan. Nama besar Buya Hamka saja sudah sangat menarik perhatikan masyarakat.
“Apalagi hal menarik lain seperti film yang berdurasi total 7 jam (terbagi dalam 3 volume), biaya produksi yang fantastis bahkan sekedar untuk urusan make up saja serta waktu penggarapan film selama 9 tahun,” kata Adi saat dikonfirmasi Langit7.id, Jumat (28/4/2023)
Menurut Adi, ada banyak kesan setelah menonton film tersebut. Pertama, merasakan kehadiran sosok Buya HAMKA. Vino bukan hanya mahal di make up saja, tapi suara, dialog, penjiwaan karakter begitu meresap.
“Saya sendiri bukan yang kenal sudah kenal banyak Bang Vino, maklum saya bukan penganut aliran SuFi (Suka Film). Masuk bioskop saja terakhir kali saja sudah lupa karena saking lamanya. Jadilah seakan saya justru hanya mengenal sosok Buya HAMKA itu sendiri, bukan sosok Bang Vinonya,” tutur Adi.
Akting tandem Vino, Laudya Cinta Bella juga tidak kalah apik. Dialek Padang antar keduanya bertebaran sepanjang film. Untung ada subtitle yang membantu. Pada beberapa scene tak terasa air mata menetes haru, sedih terbawa suasana.
Hal yang menarik, walau sudah jelas ini adalah pasangan suami istri, tapi sangat sedikit adegan bersentuhan langsung antara kedua pemeran utama ini ditampilkan. Paling-paling hanya sebatas mencium tangan sang suami oleh sang istri.
“Namun jangan dikira bagaimana kesan erat hubungan antara keduanya dihadirkan. Insya Allah para jomblo bakal ngiri,” tutur Adi.
Kedua, alur cerita volume I ini mengambil settingan pertengahan hidup Hamka. Ini tidak lazim, karena kan biasanya volume I berarti dari masa kecil lalu lanjut masa dewasa dan tua. Menurut Adi, ini strategi yang baik agar mereka yang belum mengenal Hamka secara dekat sudah disuguhkan kiprah penting ulama tersebut sedari awal, yakni masa menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.
“Bukan berarti masa lainnya tidak penting. Ini soal pilihan angle saja dan menurut saya cukup berhasil membangun ketertarikan dan penasaran untuk bagian hidup lainnya. Dugaan saya, volume II berkisah masa kecil Hamka dan volume III adalah masa tua hingga wafatnya,” ungkap Adi.
Ketiga, Adi mengaku jadi makin cinta dan penasaran untuk mengenal Buya Hamka. Pada film volume I ini digambarkan secara sekilas proses penyusunan karya masterpiece novel ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’. Juga penggalan penyusunan buku ‘Tasawuf Modern’.
“Melihat gambaran kesungguhan Hamka menghadirkan karya besar ini membuat saya semakin ingin membaca karya-karya Hamka lainnya,” jelas Adi.
Terlepas dari semua sisi positif itu, sedikit saja catatan yang kurang pas dari film ini ada di momen saat kabar kemerdekaan Indonesia didengar oleh Hamka. Euphoria yang ditampilkan kurang natural dibandingkan scene yang lain.
“Tapi ya cuma bagian ini saja yang menurut saya kurangnya. Selebihnya sudah mantap dan berkesan,” jelas Adi.
Adi lalu berpesan sebelum menonton mahakarya tersebut. Pertama, dia menyarankan agar tidak menonton sendirian. Bisa mengajak teman-teman agar makin banyak orang mengenal Hamka.
Kedua, baiknya baca buku kisah Hamka entah dari pengarang atau penerbit mana saja. Adi merekomendasikan buku Adicerita Hamka karya James R. Rush. Buku ini sudah cukup lengkap sekali dari A-Z tentang perjalanan hidup Hamka.
“Yah, kalau tidak sempat baca bukunya ya minimal baca artikel kisah hidup HAMKA. Lebih spesifik untuk volume I ini adalah masa mulai HAMKA jadi Ketua Muhammadiyah cabang Makassar sampai akhir pendudukan Jepang,” tutur Adi.
Membaca sejarah Hamka sebelum menonton Sangat penting, agar bisa menghayati dan memaknai lebih utuh tayangan yang disajikan. Itu karena jejak hidup Hamka itu banyak sekali. Film adalah media yang berupaya menampilkan ulang kesemuanya. Tapi, tetap saja tidak akan bisa sepenuhnya.
“Walhasil satu kejadian penting hanya ditampilkan dalam 5-15 menit saja. Kalau kita tidak paham konteksnya akan jadi hambar visualisasi filmnya. Ini pula yang rasanya membuat saya beberapa kali berbulir air mata karena tahu gambaran informasi sebelum dan setelah kejadiannya,” jelas Adi.
(ori)