LANGIT7.ID-, Surabaya- - Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tercatat 2,76 juta masyarakat Indonesia merupakan partisipan judi online. Faktanya, 2,19 juta masyarakat dari data tersebut merupakan masyarakat berpenghasilan rendah.
Guru Besar Sosiologi, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto, menjelaskan, perjudian merupakan patologi sosial yang sudah lama dan bentuknya berubah-ubah.
Judi memiliki berbagai bentuk. Bermacam taruhan muncul dari kejadian yang sering ada di masyarakat. Mulai dari kejadian sederhana hingga kompleks bisa jadi bahan taruhan untuk perjudian. Jika budaya judi di masyarakat Indonesia masih langgeng. Memanfaatkan idiom budaya populer seperti media.
Baca juga:
Sumpah Pemuda, Festival Indonesia Adalah Kita Digelar di 6 KotaFilm God Of Gamblers yang terkenal di kalangan masyarakat Indonesia seolah memberikan legitimasi untuk mengubah nasib melalui perjudian. Harapan itu selalu difasilitasi dengan keinginan berupa “siapa tahu” dan subkultur itu tumbuh di kalangan penjudi.
“Faktor mentalitas yang ingin menempuh jalan pintas. Jika mengubah nasib dengan jalur rasional sudah tidak lagi mungkin, sehingga dia menempuh jalur irasional berupa perjudian,” jelas Bagong melalui laman Unair, dikutip Jumat (28/10).
Hadirnya judi online memberikan pengaruh masif karena pemain tidak terbatas wilayah dan judi dapat dengan mudah lewat telepon genggam. Tawaran nominal deposit akun judi online tergolong rendah, sehingga mudah masyarakat miskin jangkau.
Bagong menegaskan, modal seadanya ini justru semakin mendorong masyarakat miskin untuk mencoba segala cara untuk berjudi online. “Judi online menawarkan media alternatif untuk memotong kompas kehidupan. Selalu muncul persepsi ‘siapa tahu rezeki’ menjadikan adiktif dalam berjudi,” ujar Bagong.
Menurut dia, peta jalan dalam memberantas judi masih menjadi tantangan besar bagi penegak hukum. Secara hukum, judi termasuk tingkat kejahatan sekunder. Namun jika dilihat lebih mendalam, juga sebagai salah satu sumber perilaku kriminal lainnya.
Ketika penjudi telah kehilangan seluruh kekayaan material, kata Bagong, potensi untuk menggunakan jalan kriminalitas tentu semakin tinggi. Dia menilai jika hukuman yang diberikan penjudi masih dinilai belum bisa menyelesaikan masalah.
Dorongan adiktif judi ini sendiri memerlukan rehabilitasi, khususnya dengan pendekatan keluarga dan keagamaan. Penanganan berupa community support system dari lingkungan terdekat cenderung lebih didengarkan oleh penjudi. Terlebih jika dalam keluarga, ada anggota keluarga yang memiliki kontrol peran dalam keluarga.
“Keluarga perlu hadir untuk bisa memberikan petunjuk bagi penjudi. Rangkulan dari orang terdekat ini yang bisa membawa penjudi keluar dari dampak kecanduannya,” ujar Bagong.
(ori)