LANGIT7.ID, Semarang - Atap sirap berbahan kayu ulin, banyak digunakan di rumah adat tradisional secara turun temurun oleh masyarakat di Kalimantan. Bentuknya yang pipih dan ringan di atap membuat bangunan lebih artistik dan perkembangannya, genteng kayu ini juga diadopsi masyarakat Pulau Jawa dan Bali.
Beragam bangunan mulai villa dan hotel, masjid, gereja maupun pabrik gula, bangunan peninggalan Belanda, di Jawa dan Bali memanfaatkan sirap sebagai penutup atap. Termasuk juga untuk rumah tinggal. Hanya saja, penggunaan sirap untuk yang terakhir memang masih jarang dijumpai.
Padahal, rumah dengan atap sirap ini memiliki berbagai keunggulan. Selain nilai seni tinggi, bobotnya juga ringan tidak memberi beban berarti pada atap.
Keunikan atap sirap terletak dari bahan kayu yang membuat tampilan rumah lebih ramah dan alami dibanding genting lain seperti asbes atau beton. Belum lagi ujung genting sirap berbentuk lancip, menjadikan rumah ini terlihat makin eksotis.
![Atap Sirap Kayu Ulin, Jadikan Hunian Tampil Etnik dan Artistik]()
Kenapa tidak banyak diminati?, Pemilik CV Sirap Mandiri Sejahtera Semarang, Muhaimin, menyebutkan salah satu alasan yakni perawatan.
Diakui Muhaimin, perawatan atap sirap tergolong sulit. Ketika terjadi kebocoran, akan sukar menemukan titik mana yang berlubang. Saat yang bocor di salah satu sudut, airnya ternyata di sudut yang lain. Dan tidak hanya satu ruas saja yang dibongkar, tapi cukup banyak.
Kedua, pemasangannya tidak bisa dilakukan oleh tukang kayu yang belum berpengalaman. Ini untuk menjaga kualitas dan ketahanan dari kayu tersebut. Selain itu, memasang sirap ini membutuhkan waktu lama.
“Dalam satu hari, maksimal sepasang pekerja ini bisa menyelesaikan 4 meter persegi saja. Kalau genting tanah liat atau beton kan bisa sampai puluhan meter, karena tinggal nyantolke,” kata Muhaimin kepada
LANGIT7, Kamis (9/9/2021).
Meski perawatan rumit, tapi bila pemasangan dilakukan benar, atap sirap bisa tahan lama hingga puluhan tahun. Apalagi kayu ulin dikenal kekuataannya sehingga dipilih untuk konstruksi bantalan kereta api, jembatan, tiang listrik, hingga kapal.
Material kayu juga memiliki sifat menyerap panas dengan baik. Dibanding atap berbahan seng atau keramik, atap sirap dapat menahan hawa panas dari sinar matahari secara maksimal. Hasilnya, atap sirap dapat memberikan efek menyejukkan pada hunian
Apakah karena itu sirap mahal harganya? BIcara mahal, menurut Muhaimin itu sangat relatif. Jika seseorang ingin rumahnya bernilai seni tinggi dan hasilnya sesuai ekspektasi, ongkos yang keluar bisa jadi tak dirasa mahal.
Namun, jika hasil pekerjaannya tidak bagus, tapi disuruh bayar mahal, tentu pemilik rumah pasti kecewa.
![Atap Sirap Kayu Ulin, Jadikan Hunian Tampil Etnik dan Artistik]()
“Sirap itu bisa menyerap hawa panas pada siang hari dan bisa mengusir hawa dingin pada malam hari. Kami menjual sirap dari kayu ulin, yang kuat di daerah berair," papar Muhaimin.
Rumah-rumah panggung di Kalimantan, kata Muhaimin diberi pondasi kayu ulin sebelum tiang pancang dipasang. "Kayu ulin dan jati ini sama-sama kuat, tapi memang corak seratnya lebih bagus jati, “ paparnya.
Harga sirap ini sangat bervariatif. Bedasar harga jual di tempat usahanya, yang juga melayani penjualan kayu lantai, lambersering (tembok kayu), dan decking, sirap kayu ulin satu ikat isi 80 lembar dengan ukuran ketebalan 5 mm, lebar 8 cm, dan panjang 60 cm dibanderol Rp165.000.
Harga di tempat lain sangat bervaratif tergantung jumlah dalam satu ikat. Rupanya dalam satu ikat ada yang berisi 50 atau 80. Satu ikat sirap tersebut biasanya untuk luasan atap 1 meter persegi.
Ada tiga jenis bentuk sirap, yakni lancip, kotak dan oval. Khusus oval ini saat ini sudah jarang diproduksi karena proses pengerjaan yang lama.
Sebagian besar pesanan yang masuk ke usaha Muhaimin datang dari Jakarta, Batam, Yogyakarta, Salatiga, Jepara, Bandar Lampung, Bali. Persebarannya merata di banyak kota.
Salah satu pesanan sekaligus pemasangan sirap yang ia lakukan yakni di kediaman mantan Wakil Menteri Pendidikan periode 2011-2014, Wiendu Nuryanti. Tapi, Muhaimin mengungkap mayoritas pesanan datang dari destinasi wisata, baik hotel maupun vila, serta bangunan-bangunan bersejarah yang dipertahankan keasliannya.
“Di Surakarta, Pasar Gede itu atapnya juga menggunakan sirap. Gereja di dekat SMP 3 Semarang itu dulunya pakai sirap, tapi setelah direnovasi, sepertinya sudah diubah,” tuturnya.
Sementara untuk pemakaian di rumah tinggal, sirap biasanya hanya dipasang sebagai peneduh dari pintu gerbang rumah, atau dipasang hanya di bagian teras rumah saja. Sedangkan, bangunan utama tetap menggunakan genting beton atau tanah liat.
Seperti rumah milik Solikin, 51, di Satria Selatan V, Plombokan, Semarang. Ia memutuskan memasang sirap memanjang di atas gerbang utama. “Kenapa saya beri sirap, agar terlihat lain daripada yang lain. Saya banyak mencari referensi membangun rumah dari majalah maupun tayangan Youtube,” ungkapnya.
(arp)