LANGIT7.ID --Malu (
al-haya’) adalah
akhlak mulia yang menjadi salah satu pilar keimanan. Sifat ini bukan hanya sekadar perasaan takut atau segan terhadap sesama manusia, tetapi lebih dari itu, ia merupakan bentuk kesadaran spiritual yang mendalam terhadap Allah Taala. Seseorang yang memiliki rasa malu kepada Allah akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat, sebab ia menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya.
Al-Sya’rani dalam "
Al-Minahus Saniyah" mengutip
hadis Nabi, “Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya”. Para sahabat menjawab, “Alhamduilllah, kami senantiasa malu Ya Rasulullah”.
Rasulullah SAW memberikan penjelasan tentang hakikat malu kepada Allah:
اِسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الحَيَاءِ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا نَسْتَحْيِي، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ. قَالَ: لَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَاكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ“
Malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang dipahaminya (penglihatan, lisan, pendengaran), dan perut beserta isinya, mengingat kematian dan segala kemusnahan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2382, dihasankan oleh al-Albani)
Indikator malu kepada Allah yang pertama di atas, yakni menjaga kepala dan apa yang dipanggulnya memberi petunjuk agar manusia menjaga mata, telinga, dan mulut. Orang yang memiliki rasa malu menjaga matanya dari melihat yang dosa.
Allah tegaskan, “
Katakanlah kepada orang yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. al-Nur/24: 30).
Baca juga: Tobat Adalah Reparasi dan Penyembuhan bagi Keimanan yang Mengalami Kerusakan Sementara telinga adalah nikmat pendengaran yang harus disyukuri, salah satu caranya adalah mendengar yang dapat membuat Allah rida.
Allah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. al-Nahl/16: 78).
Berikutnya, termasuk orang yang malu kepada Allah adalah orang yang menjaga mulut. Allah berpesan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (QS. al-Ahzab/33: 70).
Indikator orang yang malu kepada Allah yang kedua, adalah orang menjaga perut dari makanan dan minuman yang haram. Sebab risikonya berujung neraka.
Nabi berpesan, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram” (HR. Ibnu Hibban).
Untuk itu, seperti apa pun sulitnya hari ini memperoleh sembako murah, tetap harus mencari dengan cara yang halal. Allah berpesan, "
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya” (QS. al-Maidah/5: 88).
Tentang malu kepada Allah yang ketiga, adalah ingat mati dan huru hara sesudah kematian. Orang yang ingat mati pasti malu kepada Allah untuk berbuat dosa. Alasannya, karena hidup itu adalah anugerah Allah yang harus disyukuri dengan berbuat baik.
Secara sufistik-filosofis, minimal ada tiga argumen yang melandasi manusia harus malu kepada Allah, sebagaimana diungkap Nabi. Pertama, "Malu adalah cabang keimanan" (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, "Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan" (HR. Bukhari). Ketiga, "Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan" (HR. Muslim).
Baca juga: Kisah Rebutan Tahta di Kerajaan Daud, Kakak Nabi Sulaiman Melakukan Kudeta Sementara dalam sudut pandang yang sama, rasa malu itu berpijak pada argumen sejumlah ayat dalam al-Qur’an. Pertama, “
Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS al-Alaq/96: 14).
Kedua, “
Sesungguhnya Allah mengawasi kalian” (QS. al-Nisaa/4: 1). Ketiga, “
Dan Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan” (QS. al-Baqarah/2: 265)
Sifat Malu Adalah Tanda Keimanan yang HakikiRasulullah SAW bersabda:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ“
Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman.” (HR. al-Bukhari no. 8, Muslim no. 35)
Hadis ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah tanda keimanan yang hakiki. Seorang mukmin yang memiliki rasa malu kepada Allah tidak akan dengan mudah melakukan perbuatan dosa, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الْآخَرُ"
Malu dan iman saling berbarengan, apabila salah satunya diangkat maka diangkat pula yang lainnya." (HR. al-Hakim no. 58, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3198)
Hadis ini memberikan peringatan bahwa jika seseorang kehilangan rasa malu, maka keimanannya pun akan berkurang. Malu kepada Allah harus menjadi pendorong bagi setiap M
Baca juga: Sempat Murtad Lalu Tobat, Bagaimana Kewajiban Puasa yang Ditinggalkan? Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barang siapa merasa malu kepada Allah untuk berbuat dosa, maka Allah akan merasa malu untuk menghukumnya pada hari ketika ia bertemu dengan-Nya.”
Makna dari perkataan ini sangat dalam. Jika seorang hamba memiliki kesadaran dan rasa malu yang tinggi kepada Allah hingga ia menahan dirinya dari dosa, maka Allah akan memberikan kasih sayang-Nya dan menghindarkannya dari azab.
Malu kepada Allah di Bulan RamadanBulan Ramadan adalah kesempatan terbaik untuk melatih rasa malu kepada Allah. Ketika seorang Muslim berpuasa, ia menahan diri bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari segala bentuk kemaksiatan yang dapat merusak puasanya.
Allah SAW berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ“
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)
Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga mendidik jiwa agar lebih dekat kepada Allah dengan menanamkan rasa malu untuk berbuat dosa. Rasulullah SAW bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَسْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ“
Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan jangan pula berbuat gaduh. Jika seseorang mencacinya atau mengajaknya bertengkar, hendaklah ia berkata: ‘Aku sedang berpuasa’.”
(HR. al-Bukhari no. 1904, Muslim no. 1151)
Baca juga: Meninggalkan Maksiat tapi Tak Masuk Kategori Tobat, Ini Contoh-contohnya Hadis ini mengajarkan bahwa puasa adalah benteng bagi orang beriman. Jika seseorang memiliki rasa malu kepada Allah, ia tidak akan melakukan perbuatan yang mengurangi pahala puasanya.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang memiliki rasa malu yang tinggi kepada-Nya, sehingga kita dijauhkan dari azab-Nya dan dimasukkan ke dalam rahmat-Nya. Aamin.
(mif)