LANGIT7.ID–Jakarta; Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan optimisme bahwa kualitas siaran keagamaan di Indonesia akan semakin baik menjelang dan selama bulan Ramadhan.
Harapan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, Idy Muzayyad, dalam kegiatan Sosialisasi Program Siaran Keagamaan yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertema “Mewujudkan Siaran Keagamaan yang Menyejukkan bagi Masyarakat”, Selasa (11/11) di Kantor KPI Pusat, Jakarta.
Menurut Idy Muzayyad, momentum Ramadhan menuntut seluruh elemen masyarakat, termasuk media penyiaran, untuk menciptakan suasana yang kondusif serta menghormati nilai-nilai kesucian bulan suci tersebut.
“Selama sebulan penuh umat Islam akan melaksanakan ibadah puasa dengan berbagai ritualnya. Maka, dibutuhkan suasana yang kondusif untuk menghormati bulan suci ini,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (13/11/2025).
Idy menambahkan, perubahan aktivitas dan kondisi psikologis umat Islam selama Ramadhan sepatutnya dipahami dan dihormati oleh semua pihak, khususnya oleh lembaga penyiaran.
“Media penyiaran memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga kekhusyukan dan menghadirkan tayangan yang meneduhkan, bukan yang menimbulkan kegaduhan atau kontroversi,” kata dia.
Sebagai bagian dari komitmennya, MUI setiap tahun menjelang Ramadhan mengeluarkan tausiah khusus yang berisi panduan bagi lembaga penyiaran publik, komersial, komunitas, maupun berlangganan.
Panduan ini mengacu pada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), serta beberapa fatwa MUI terkait etika bermedia.
Tujuan utama tausiah tersebut adalah:1. Memberikan pedoman agar program Ramadhan sesuai dengan ajaran Islam dan peraturan penyiaran yang berlaku2. Menjadi bahan pertimbangan KPI dalam memantau isi siaran selama Ramadhan3. Menjadi acuan bagi MUI di daerah untuk memperkuat sinergi dengan media massa dalam menghadirkan tayangan yang mendidik dan menyejukkan.
MUI menegaskan bahwa seluruh lembaga penyiaran wajib menghormati ibadah puasa, baik secara ritual maupun dalam penggambaran kehidupan umat Islam.
Lembaga penyiaran juga diminta memproduksi program berkualitas yang memuat nilai pendidikan, dakwah, dan hiburan yang selaras dengan norma agama serta etika sosial.
Dalam substansi khusus tausiah, MUI menekankan beberapa larangan, di antaranya:• Tidak menayangkan konten yang mengandung fitnah, ujaran kebencian, kekerasan, atau pornografi• Tidak menampilkan adegan yang melecehkan nilai-nilai agama maupun martabat warga negara• Tidak menjadikan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas atau pengidap penyakit tertentu sebagai bahan olok-olok• Mengatur standar busana pengisi acara agar sesuai dengan kepatutan di bulan Ramadhan• Menghormati waktu-waktu penting seperti imsak, sahur, dan berbuka puasa dalam penayangan program.
Selain itu, MUI menegaskan bahwa seluruh konten yang ditayangkan ulang di media digital seperti YouTube dan situs resmi tetap harus mengikuti UU Penyiaran, P3SPS, serta Fatwa MUI tentang Pedoman Muamalah Melalui Media Sosial.
Menurut Idy Muzayyad, kerja sama ini merupakan wujud sinergi dan kolaborasi antara lembaga keagamaan dan regulator penyiaran dalam menjaga moral publik di ruang media.
“Kita ingin siaran keagamaan benar-benar menjadi oase yang menyejukkan, bukan sekadar tontonan. Media harus hadir sebagai pencerah, bukan pengabur nilai,” tuturnya.
Melalui kegiatan sosialisasi ini, MUI dan KPI berharap lembaga penyiaran semakin menyadari peran strategisnya dalam membentuk karakter dan moral masyarakat.
Siaran yang menyejukkan bukan hanya menjadi tuntutan moral, melainkan juga bentuk tanggung jawab sosial untuk menguatkan peradaban umat manusia.
“Dengan sinergi, apresiasi, dan kolaborasi, kami optimistis siaran keagamaan ke depan akan semakin berkualitas dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat,” pungkasnya
(lam)