LANGIT7.ID–Jakarta; Menyongsong Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang akan digelar pada 20–23 November 2025, isu teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu fokus pembahasan utama. Bukan sekadar tren, AI kini dianggap fenomena besar yang turut memengaruhi cara masyarakat beragama dan berdakwah di era digital.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menegaskan pentingnya pandangan keagamaan dalam menghadapi derasnya arus digitalisasi. Menurutnya, AI tidak bisa dijadikan penuntun dalam kehidupan spiritual umat, melainkan hanya sebagai alat bantu informasi.
“AI bukan guru dan penuntun, tetapi hanya sekedar pemberi informasi. Menurutnya, AI seperti takdir yang tidak mungkin dilawan, tetapi bisa dihindari,” kata Kiai Cholil dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (5/11/2025).
Ia menambahkan, teknologi akan menjadi semakin dominan di masa depan. Karena itu, MUI perlu hadir memberi arah agar perkembangan AI sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Tapi bisa diarahkan ke lebih baik. MUI akan berperan disitu untuk hadir memberikan pencerahan dan arahan, bagaimana memfilter pemikiran yang baik dan memberikan arahan kepada orang-orang yang sekiranya mengakses AI,” lanjutnya.
Melihat ke depan, Kiai Cholil menyebut lima dekade mendatang akan menjadi era teknologi yang makin tak terbendung. Ia yakin MUI harus menyiapkan peran baru dalam dunia digital, terutama dalam menjalankan dakwah dan menyebarkan fatwa. “Bahkan kita mungkin beberapa kerja menggunakan AI. Termasuk dakwah, sosialisasi fatwa, kebijakan melalui teknologi ini,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Infokom, KH Masduki Baidlowi, turut menyoroti pentingnya batas antara agama dan teknologi. Ia menilai AI tak memiliki dimensi spiritual, sebab algoritma hanya mengolah data dan bahasa, bukan nilai keimanan. “Agama tidak ada dalam algoritma,” ujarnya tegas.
Ketua SC Munas XI MUI itu menekankan bahwa meskipun AI mampu menyediakan informasi keagamaan, kedudukan ulama dan sanad tetap tak tergantikan. “AI bukanlah guru, melainkan pendamping bagi yang mau belajar agama,” jelas Juru Bicara Wakil Presiden ke-13 RI tersebut.
Masduki mengingatkan, meningkatnya ketergantungan masyarakat pada AI untuk belajar agama justru bisa menimbulkan kesalahpahaman. “Belajar agama melalui AI sangat berbahaya apabila tidak ada pendampingan,” katanya, seraya mencontohkan potensi konflik yang muncul akibat algoritma di berbagai negara.
“Hal ini yang terjadi di Amerika antara kristen liberal dengan kristen fundamentalis yang disebabkan oleh algoritma. Begitu juga di Timur Tengah pada Al Azhar sebagai pusat kajian ilmu keagamaan terjadi klaim kelompok ISIS yang keras dan kelompok moderat,” paparnya.
Ia menutup dengan pesan tegas agar masa depan dakwah tetap dikembalikan pada otoritas ulama dan sanad keilmuan. “Nanti pada saatnya MUI ini akan menjadi perebutan seperti itu. Oleh karena itu, masa depan agama, ada tetap pada ulama, ustad, harus pada sanad. AI dan digital berbasis informasi semuanya penguat kita,” tegasnya.
(lam)