LANGIT7.ID-, Surabaya- - KH. Muhammad Yusuf Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari sedang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu pertimbangannya adalah kiai yang akrab disapa Pak Ud ini adalah seorang ulama militer pejuang dan benteng NKRI.
Menurut Dr. H. Romadlon, MM, alumnus S-3 UIN SATU Tulungagung, Pak Ud dalah sosok ulama sekaligus pejuang yang memiliki kontribusi besar dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kiprahnya tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga perjuangan fisik bersama Laskar Hizbullah, perannya dalam penumpasan G30S/PKI di Madiun dan Blitar, serta kepemimpinannya di Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dalam menjaga stabilitas nasional.
Dengan latar belakang perjuangan dan kontribusinya yang luar biasa, KH. Muhammad Yusuf Hasyim sangat layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Banyak alasan yang dapat dikemukakan. Karena Pak Ud adalah termasuk santri di garda terdepan dalam perjuangan melawan Belanda.
Baca juga:
Lima Alasan KH Yusuf Hasyim Diusulkan sebagai Pahlawan NasionalMenurutnya, ketika membahas tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama para pahlawan nasional seperti Soekarno, Hatta, dan Jenderal Soedirman selalu disebut. Namun, di balik perlawanan bersenjata, ada peran besar santri dan ulama yang sering terlupakan dalam catatan sejarah.
Salah satu tokoh yang patut mendapat perhatian lebih adalah KH. Muhammad Yusuf Hasyim, putra bungsu pendiri Nahdlatul Ulama, KHM Hasyim Asy’ari.
Sebagai seorang santri dan pemimpin militer, KH. Yusuf Hasyim tidak hanya berperan di medan perang, tetapi juga dalam menjaga ideologi bangsa. Kisah perjuangannya bersama Kompi VI Batalyon 39/Condromowo di Dusun Nglaban, Jombang, adalah bukti nyata bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga benteng pertahanan negara.
Selain itu, KHM Yusuf Hasyim termasuk sosok pembela negara yang berasal dari kalangan pesantren. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Yogyakarta sebagai ibu kota sementara Republik Indonesia jatuh ke tangan mereka.
Serangan ini berlanjut ke berbagai daerah, termasuk Jombang. Pada 29 Desember 1948, pasukan Belanda di bawah pimpinan Charles Olke van der Plass menduduki Jombang dan menargetkan Pesantren Tebuireng sebagai basis perlawanan rakyat.
KH. Yusuf Hasyim, yang saat itu memimpin pasukan santri, berusaha mempertahankan pesantren. Namun, karena kekuatan yang tidak seimbang, ia dan pasukannya terpaksa mundur ke Dusun Nglaban.
Di Nglaban, KHM. Yusuf Hasyim dan pasukannya menghadapi serangan mendadak dari Belanda. Dengan persenjataan yang lebih lengkap, pasukan Van der Plass berhasil menimbulkan banyak korban. Salah satu santri yang gugur adalah Dawam, yang tertembak di dada.
Dalam pertempuran ini, KHM. Yusuf Hasyim sendiri terluka akibat terkena serpihan peluru, tetapi berhasil diselamatkan oleh warga setempat. Setelah pertempuran sengit, pasukan santri mundur ke Sugihwaras dan kemudian bergabung dengan pasukan di Desa Ngrimbi, Jombang, melanjutkan strategi perang gerilya untuk menghindari kepungan musuh.
Selain berjuang bersama santri, KH. Yusuf Hasyim juga menjalin kerja sama erat dengan kelompok nasionalis. Salah satu bukti nyata adalah keterlibatannya dalam membantu Batalyon 42/Diponegoro yang dipimpin oleh Mayor Mansur Solichy. Setelah mengalami kekalahan di Pertempuran Pacet, Mojokerto, batalyon ini tercerai-berai dan mencari perlindungan ke berbagai daerah, termasuk Nglaban.
KH. Yusuf Hasyim dengan sigap membantu konsolidasi pasukan dan memastikan mereka dapat kembali ke garis depan untuk bertempur melawan Belanda. Ini menunjukkan bahwa perjuangan santri tidak hanya terbatas dalam lingkup pesantren, tetapi juga berkontribusi dalam perlawanan nasional.
Alasan lain, bahwa KHM. Yusuf Hasyim berperan dalam Penumpasan G30S/PKI. KH. Muhammad Yusuf Hasyim adalah sosok ulama yang tegas dalam menentang ideologi komunisme. Tragedi G30S/PKI tahun 1965 menjadi salah satu peristiwa di mana beliau berperan besar dalam menyelamatkan bangsa dari ancaman komunisme yang bertentangan dengan Pancasila.
Pasca-G30S, Madiun dan Blitar menjadi basis persembunyian serta reorganisasi simpatisan komunis. Sebagai tokoh NU dan pemimpin pesantren, KH. Yusuf Hasyim mengonsolidasikan kekuatan santri dan masyarakat pesantren untuk menghadapi ancaman tersebut.
Di Blitar Selatan, kelompok gerilyawan PKI masih bertahan setelah tragedi 1965. Bersama ulama-ulama NU lainnya, KH. Yusuf Hasyim menginstruksikan Banser dan santri-santri untuk turut serta dalam operasi pembersihan sisa-sisa gerakan PKI yang bersembunyi di wilayah tersebut.
Di Madiun, daerah yang pernah menjadi pusat pemberontakan PKI tahun 1948 di bawah Musso, pengaruh komunis masih kuat. KH. Yusuf Hasyim menggerakkan GP Ansor, Banser, dan elemen masyarakat agar PKI tidak kembali mengancam stabilitas negara.
Sebagai Komandan Pusat pertama Banser, KH. Yusuf Hasyim berperan dalam menjadikan Banser sebagai benteng NU untuk menjaga ulama, pesantren, dan menghadapi ancaman komunisme.
(ori)