LANGIT7.ID-,  Jakarta -  -  
Maulid nabi adalah peringatan 
kelahiran Rasulullah SAW yang jatuh setiap 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Islam. 
Di Indonesia, perayaan maulid nabi memiliki banyak nama, salah satunya tradisi muludan yang berkembang sejak era Walisongo di Nusantara. 
Akademisi Sastra dan Budaya Islam Universitas Airlangga (Unair) Ahmad Syauqi, mengungkapkan bahwa 
tradisi mauludan adalah hasil 
akulturasi ajaran Islam dengan budaya lokal.
Baca juga: Prabowo Subianto: Maulid Nabi Jadi Momentum Teladani Akhlak Mulia RasulullahTradisi muludan, kata Syauqi, mengandung makna religius sebagai perwujudan keimanan dan kecintaan pada junjungan besar umat Islam, Nabi Muhammad SAW. 
Sementara dari pandangan filosofis, 
muludan mencerminkan solidaritas sosial, gotong royong, sekaligus media dakwah melalui simbol-simbol budaya, seperti endog-endogan di Banyuwangi, Kirab Ampyang di Kudus. 
“Ini merupakan wujud syukur. Bahwasanya 
tradisi muludan pastinya berbeda beda di setiap daerah namun pada dasarnya merujuk pada syukur atas bahagianya kelahiran Rasulullah,” ungkap 
Dosen FIB UNAIR seperti dikutip dari laman Universitas Airlangga, Kamis (11/9/2025). 
Menurut Syauqi, 
tradisi muludan mengandung nilai pendidikan karakter untuk meneladai sifat-sifat Rasulullah seperti jujur, dermawan, menepati janji, dan humanis.
Baca juga: Rindu dalam Lantunan Selawat: Maulid Nabi di Majelis SufiMungkin di samping satu sisi sederhana, tidak ada tradisi yang harus menggunakan simbol-simbol secara saklek. Meskipun ada di beberapa daerah masih mempertahankan itu, namun intinya adalah bisa berkumpul dan memeriahkan,” tuturnya. 
Syauqi berharap 
perayaan muludan bisa menjadi wasilah perantara yang bermuara pada cinta Rasulullah dan beriman pada syariat Islam.
(est)