Cakupan Fiqih Sangat Luas Tak Cuma soal Halal Haram
Muhajirin
Jum'at, 30 Juli 2021 - 05:02 WIB
Ilustrasi beragam kitab-kitab terkait Fiqih. Foto: Istimewa
Kedudukan Fiqih dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas. Tidak hanya menyoal perkara halal dan haram suatu amalan. Ketika Fiqih hanya dimaknai amalan praktis semata, ia akan terkesan bersifat statis.
Selain itu, pemahaman Fiqih yang kurang mendalam menyebabkan pengamalan ibadah berdasarkan subyektivitas rasa, bukan obyektifitas dalil. Pada akhirnya, tujuan Fiqih untuk kemaslahatan masyarakat tidak tersampaikan.
Dosen Hukum Islam Universitas Ahmad Dahlan, Lailan Arqam, meminta masyarakat, terkhusus umat Islam, agar tidak terjebak pada Fiqih praktis. Jika terjebak pada Fiqih praktis, itu akan menyebabkan pemaknaan Fiqih hanya sebatas soal halal dan haram saja.
“Banyak di antara kita yang menganggap Fiqih hanya sebatas hukum. Jadi kalau berbicara halal, haram, makruh, itu Fiqih namanya. Coba tanyakan peserta didik kita di sekolah dan perguruan tinggi, apa itu Fiqih? Jawabannya paling tidak sama, Fiqih ya shalat, wudhu, haji, dan seterusnya,” tutur Arqam, dikutip dari laman Muhammadiyah, Kamis (29/7/2021).
Dia menjelaskan, berbicara Fiqih tidak sebatas atau berakhir pada urusan halal-haram. Namun Fiqih merupakan aturan kehidupan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Imam Al Syatibi dalam Al Muwafaqat, mengatakan, Fiqih selalu diarahkan dalam rangka menangkap maksudAlah SWT sekaligus mencari jalan yang paling mashlahat untuk dunia dan akhirat.
“Fiqih ini kendaraan kita sebagai khalifah fi al-ardh untuk mengatur norma-norma sehingga dengan itu kita bisa menjadi dekat dengan Allah Swt. Jadi idealnya Fiqih dapat menjawab permasalahan yang ada pada setiap zaman,” ujar Arqam.
Fiqih merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan Islam yang shalih likulli zaman wa makan (relevan terhadap segala situasi dan tempat). Ibnu Rusyd mengatakan, Al-Qur’an dan Hadist itu terbatas (mutanahiyat), sementara realitas-realitas yang terjadi di alam raya bersifat tidak terbatas (ghair mutanahiyat), maka perlu melakukan pembaharuan yang sesuai dengan denyut ruang dan waktu yang jalan pelaksanaannya dapat ditempuh melalui Fiqih.
Selain itu, pemahaman Fiqih yang kurang mendalam menyebabkan pengamalan ibadah berdasarkan subyektivitas rasa, bukan obyektifitas dalil. Pada akhirnya, tujuan Fiqih untuk kemaslahatan masyarakat tidak tersampaikan.
Dosen Hukum Islam Universitas Ahmad Dahlan, Lailan Arqam, meminta masyarakat, terkhusus umat Islam, agar tidak terjebak pada Fiqih praktis. Jika terjebak pada Fiqih praktis, itu akan menyebabkan pemaknaan Fiqih hanya sebatas soal halal dan haram saja.
“Banyak di antara kita yang menganggap Fiqih hanya sebatas hukum. Jadi kalau berbicara halal, haram, makruh, itu Fiqih namanya. Coba tanyakan peserta didik kita di sekolah dan perguruan tinggi, apa itu Fiqih? Jawabannya paling tidak sama, Fiqih ya shalat, wudhu, haji, dan seterusnya,” tutur Arqam, dikutip dari laman Muhammadiyah, Kamis (29/7/2021).
Dia menjelaskan, berbicara Fiqih tidak sebatas atau berakhir pada urusan halal-haram. Namun Fiqih merupakan aturan kehidupan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Imam Al Syatibi dalam Al Muwafaqat, mengatakan, Fiqih selalu diarahkan dalam rangka menangkap maksudAlah SWT sekaligus mencari jalan yang paling mashlahat untuk dunia dan akhirat.
“Fiqih ini kendaraan kita sebagai khalifah fi al-ardh untuk mengatur norma-norma sehingga dengan itu kita bisa menjadi dekat dengan Allah Swt. Jadi idealnya Fiqih dapat menjawab permasalahan yang ada pada setiap zaman,” ujar Arqam.
Fiqih merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan Islam yang shalih likulli zaman wa makan (relevan terhadap segala situasi dan tempat). Ibnu Rusyd mengatakan, Al-Qur’an dan Hadist itu terbatas (mutanahiyat), sementara realitas-realitas yang terjadi di alam raya bersifat tidak terbatas (ghair mutanahiyat), maka perlu melakukan pembaharuan yang sesuai dengan denyut ruang dan waktu yang jalan pelaksanaannya dapat ditempuh melalui Fiqih.