Jalan Bertahap Menuju Masyarakat Islam: Menelusuri Fikih Transformasi Sosial ala Qardhawi
Miftah yusufpati
Kamis, 31 Juli 2025 - 05:15 WIB
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Foto/Ilustrasi: New Arab
LANGIT7.ID-Di tengah derasnya desakan sebagian kalangan agar syariat Islam ditegakkan secepatnya dan seluas-luasnya, suara lain yang lebih pelan—namun tak kalah tegas—mengingatkan akan pentingnya hikmah dalam perubahan. Hikmah dalam arti sebenarnya: bukan menunda dengan dalih birokrasi atau kompromi politik, melainkan menyusun strategi yang bersandar pada sunnatullah dalam mengubah manusia.
Salah satu suara itu datang dari Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama asal Mesir yang pemikirannya banyak memengaruhi wacana Islam kontemporer. Dalam bukunya *Fiqh Prioritas*, Qardhawi mengajak umat Islam merenungkan kembali bagaimana Rasulullah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam—secara perlahan, bertahap, dan penuh pertimbangan sosial-kultural.
Salah satu teladan yang paling jelas dari metode bertahap itu adalah soal pengharaman khamar. Al-Qur’an tidak serta-merta mengharamkan minuman keras di awal dakwah. Larangan itu turun dalam tiga tahap: pertama, memberi isyarat bahwa khamar memiliki mudarat lebih besar daripada manfaat; lalu melarang mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk; dan akhirnya, mengharamkannya secara total.
“Seandainya khamar diharamkan sekaligus, masyarakat Arab kala itu bisa menolaknya mentah-mentah,” tulis Qardhawi.
Baca juga: Membaca Ulang Aturan dalam Keadaan Terpaksa: Fikih Tak Sekadar Larangan
Qardhawi juga memberi contoh lain: sistem perbudakan. Islam tidak serta-merta menghapus perbudakan secara total, meski ia sangat membatasi dan mempersempit ruang geraknya. Alasannya, jika perbudakan yang saat itu menjadi tulang punggung ekonomi dunia dihapuskan secara revolusioner, guncangan sosial yang timbul bisa memicu resistensi besar-besaran. Maka Islam memilih jalan sunyi: mendorong pembebasan budak sebagai amal utama, membuka pintu-pintu tebusan dan pembebasan, serta menutup semua pintu masuk perbudakan.
Strategi ini, bagi Qardhawi, bukanlah kompromi, tapi kebijaksanaan: fiqh al-waqi’, fikih yang mempertimbangkan realitas, kondisi, dan kesiapan umat.
Salah satu suara itu datang dari Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama asal Mesir yang pemikirannya banyak memengaruhi wacana Islam kontemporer. Dalam bukunya *Fiqh Prioritas*, Qardhawi mengajak umat Islam merenungkan kembali bagaimana Rasulullah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam—secara perlahan, bertahap, dan penuh pertimbangan sosial-kultural.
Salah satu teladan yang paling jelas dari metode bertahap itu adalah soal pengharaman khamar. Al-Qur’an tidak serta-merta mengharamkan minuman keras di awal dakwah. Larangan itu turun dalam tiga tahap: pertama, memberi isyarat bahwa khamar memiliki mudarat lebih besar daripada manfaat; lalu melarang mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk; dan akhirnya, mengharamkannya secara total.
“Seandainya khamar diharamkan sekaligus, masyarakat Arab kala itu bisa menolaknya mentah-mentah,” tulis Qardhawi.
Baca juga: Membaca Ulang Aturan dalam Keadaan Terpaksa: Fikih Tak Sekadar Larangan
Qardhawi juga memberi contoh lain: sistem perbudakan. Islam tidak serta-merta menghapus perbudakan secara total, meski ia sangat membatasi dan mempersempit ruang geraknya. Alasannya, jika perbudakan yang saat itu menjadi tulang punggung ekonomi dunia dihapuskan secara revolusioner, guncangan sosial yang timbul bisa memicu resistensi besar-besaran. Maka Islam memilih jalan sunyi: mendorong pembebasan budak sebagai amal utama, membuka pintu-pintu tebusan dan pembebasan, serta menutup semua pintu masuk perbudakan.
Strategi ini, bagi Qardhawi, bukanlah kompromi, tapi kebijaksanaan: fiqh al-waqi’, fikih yang mempertimbangkan realitas, kondisi, dan kesiapan umat.