LANGIT7.ID-Di tengah gegap gempita wacana pemurnian syariat yang kerap dipahami sebagai pengetatan aturan, ada satu prinsip yang justru ditinggalkan:
at-taysir, atau kemudahan. Dalam logika
fikih klasik, ia bukan pengecualian, tapi fondasi. Dan dalam
Fiqh Prioritas karya
Syaikh Yusuf al-Qardhawi, kemudahan itu bukan hanya legalitas darurat, melainkan jalan tengah yang menjembatani tuntutan wahyu dengan realitas manusia.
Buku yang terbit lebih dari dua dekade lalu dan kembali ramai dibicarakan dalam forum-forum pengajian dan kajian Islam belakangan ini, menawarkan tafsir segar terhadap salah satu prinsip mendasar syariat: pengakuan terhadap darurat sebagai bagian dari dinamika kehidupan.
Al-Qardhawi menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, syariat bukan hadir untuk memberatkan, tetapi untuk menghindarkan manusia dari kesulitan yang tak tertanggungkan.
“
Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 173)
Baca juga: Jalan Terang Menuju Kemudahan: Pelajaran Fikih Prioritas untuk Zaman yang Sarat Kepayahan Ayat ini muncul berulang kali dalam empat tempat berbeda di Al-Qur’an. Bukan tanpa maksud. Di situlah terletak konfirmasi paling kuat bahwa hukum bisa lentur, jika realitas manusia menuntut kelenturan itu.
Menimbang Darurat, Menegakkan KemudahanDalam kerangka fikih, kondisi darurat (ḍarūrah) adalah situasi luar biasa yang memungkinkan sesuatu yang semula diharamkan menjadi boleh dilakukan. Namun, Al-Qardhawi mengingatkan: darurat bukan berarti keterpaksaan yang sembrono. Ia tetap dibatasi oleh dua syarat: tidak boleh didasari nafsu atau keinginan pribadi, dan tidak boleh melampaui batas kebutuhan yang benar-benar darurat.
Di masa Nabi, konsep ini diterapkan secara konkret. Ketika dua sahabat, Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin Awwam, mengeluhkan penyakit kulit, Rasulullah memberikan izin khusus kepada mereka untuk mengenakan pakaian sutera—jenis pakaian yang lazim diharamkan bagi laki-laki. Kasus ini jadi preseden. Bahwa aturan bisa lentur ketika ada kondisi medis atau sosial yang mendorongnya.
Namun kemudahan ini tak selalu disambut lapang. Dalam banyak komunitas muslim hari ini, konsep rukhshah—keringanan hukum—sering dituduh sebagai bentuk kompromi. Mereka yang mengambil dispensasi dianggap lemah dalam iman. Padahal, dalam sejarah panjang Islam, justru kemudahan itulah yang menjadikan syariat bisa hidup di berbagai ruang dan waktu.
Baca juga: Ketegangan Politik dan Lahirnya Dua Mazhab Besar Fikih Islam Fikih Tak Hanya Soal LaranganSatu bagian menarik dalam Fiqh Prioritas adalah desakan Al-Qardhawi untuk membebaskan umat dari jebakan fikih larangan. Ia menyebutkan bahwa mayoritas literatur hukum Islam lebih banyak membahas apa yang tidak boleh, ketimbang apa yang boleh dan diprioritaskan. Pola ini menjadikan umat lebih sibuk memagari diri dari kesalahan, ketimbang mencari celah untuk kemajuan.
Fikih darurat, menurut Al-Qardhawi, bukanlah celah untuk menunda kepatuhan, melainkan ruang bagi rahmat Tuhan bekerja. Dalam dunia yang semakin kompleks—dengan situasi geopolitik, krisis ekonomi, dan fluktuasi sosial yang tajam—pendekatan legalistik semata justru menjauhkan hukum dari realitas. Ia mengusulkan fikih taysir sebagai paradigma: mendekatkan hukum dengan manusia, bukan menjeratnya.
Dalam bab-bab awal, ia menunjukkan bahwa kemudahan bukan pengecualian sesekali, tapi prinsip yang mengalir dari tujuan syariat itu sendiri: menghilangkan kesulitan, mendorong kemaslahatan. Maka tak mengherankan jika dalam maqashid syariah—tujuan-tujuan utama syariat—prinsip darurat punya legitimasi setara dengan penjagaan agama dan jiwa.
Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Fikih Tabiin? Berikut Ini Penjelasannya Di Mana Negara?Di Indonesia, prinsip darurat dalam hukum Islam tampaknya belum mendapat tempat yang semestinya, terutama dalam kebijakan-kebijakan keagamaan resmi. Pada 2020, misalnya, ketika pandemi Covid-19 memuncak dan banyak masjid tetap bersikeras menggelar salat Jumat berjamaah, perdebatan soal “bolehkah salat Jumat ditiadakan karena wabah?” menjadi polemik. Padahal, dalam logika fikih darurat, situasi tersebut sudah cukup menjadi alasan untuk menangguhkan kewajiban berjamaah.
Yang luput dari perhatian, sebagaimana digugat Al-Qardhawi, adalah pemahaman bahwa hukum syariat bukan hanya untuk individu, tapi juga untuk kolektif sosial. Negara, dalam hal ini, seharusnya bisa menjadi perantara pemahaman darurat: mendidik masyarakat bahwa kemudahan adalah bagian dari ajaran, bukan pelanggaran.
Namun negara justru sering terjebak dalam pendekatan tekstual. Kemudahan dalam hukum haji, zakat, bahkan dalam urusan muamalah sehari-hari, jarang dikampanyekan sebagai nilai yang sah. Akibatnya, umat sering terombang-ambing antara dua ekstrem: terlalu longgar tanpa dasar, atau terlalu kaku hingga lupa konteks.
Baca juga: Ilmu Fikih: Ketika Campur Tangan Kekuasaan Membentuk Hukum Islam Menuju Fikih yang ManusiawiAl-Qardhawi mengusulkan agar umat Islam keluar dari doktrin legal-formal ke pendekatan yang lebih manusiawi. Ia menyebutnya sebagai tajdid fikih—pembaharuan fikih. Dalam kerangka ini, darurat bukan sekadar keadaan insidental, tapi juga keadaan struktural: kemiskinan yang sistemik, akses pendidikan yang timpang, tekanan sosial yang terus menghimpit.
Fikih darurat pun bisa berkembang menjadi fikih resistensi sosial: membuka ruang partisipasi perempuan dalam kepemimpinan jika tak ada laki-laki yang cakap; memperbolehkan pembiayaan non-syariah dalam pembangunan jika alternatifnya nihil; atau melegitimasi kerja sama politik lintas iman demi kemaslahatan nasional.
Maka, dalam semangat yang diajarkan Al-Qardhawi, darurat bukan sekadar pengecualian—tapi pintu kemajuan. Ia adalah pengingat bahwa Tuhan tidak menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Hajj ayat 78: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan.”
Baca juga: Ilmu Fikih: Ketika Pertimbangan Kepentingan Umum Didahulukan Dan di situlah letak urgensi kita membaca ulang fikih, bukan sebagai kumpulan larangan, tapi sebagai kompas welas asih. Karena di ujung semua aturan, yang Allah kehendaki bukanlah ketaatan membuta, tapi kemudahan yang mencerahkan.
(mif)