LANGIT7.ID--
Jalaluddin Rakhmat mengatakan salah satu karakteristik dari ijtihad sahabat
Rasulullah SAW, bila tidak ada nash, menggunakan qiyas atau pertimbangan kepentingan umum.
Dalam buku berjudul "
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "
Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, Dari Fiqh Al Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme", Jalaluddin Rakhmat menjelaskan dalam beberapa kasus, bahkan pertimbangan kepentingan umum (maslahat) didahulukan dari nash, walaupun ada nash sharih (tegas) yang bertentangan dengan itu.
Selanjutnya ia menyampaikan contoh-contoh akan hal tersebut:
1. Khalid Muhammad Khalid menulis tentang ijtihad
Umar bin Khattab dalam al-Dimuqrathiyyah: Umar bin Khattab telah meninggalkan nash-nash agama yang Suci dari al-Qur'an dan al-Sunnah ketika dituntut kemaslahatan untuk itu.
Bila al-Qur'an menetapkan bagian muallaf dari zakat, serta Rasulullah dan Abu Bakar melakukannya, Umar datang dan berkata, "Kami tidak memberi kamu sedikit pun karena Islam."
Ketika Rasul dan Abu Bakar membolehkan penjualan Ummahat al-Awlad, Umar melarangnya. Ketika talaq tiga dalam satu majelis dihitung satu menurut Sunnah dan ijma, Umar meninggalkan sunnah dan menyingkirkan ijma.
Baca juga: Ilmu Fikih: Penyebab Ikhtilaf di Kalangan Sahabat Nabi Muhammad SAW Dr. al-Dawalibi menulis hal yang sama dalam 'Ilm Ushul al-Fiqh: "Di antara kreasi Umar bin Kattab ra yang menunjang kaidah hukum berubah karena perubahan zaman ialah jatuhnya thalaq tiga dengan satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar dan permulaan Khalifah Umar, thalaq tiga pada sekali ucapan dijadikan satu seperti hadis shahih dari Ibn 'Abbas.
Kata Umar: "Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya hati-hati..."
Akan hal ini Ibnu Qayyim mengatakan Amir al-Mu'minin Umar bin Khathab melihat orang telah melecehkan urusan thalaq... Umar ingin menghukum keteledoran ini, sehingga sahabat menahan dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq.
Umar melihat ini untuk kemashlahatan umat di zamannya... Ini adalah prinsip taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman."
2. Ketika kelompok muallaf datang menemui Abu Bakar untuk menuntut surat, mereka datang kepada Umar. Umar merobek surat itu dan berkata, "Kami tidak memerlukan kalian lagi. Allah sudah memenangkan Islam dan melepaskan dari kalian. Jika kamu Islam (baiklah itu), jika tidak pedanglah yang memutuskan antara kamu dan kami.
"Mereka kembali pada Abu Bakar dan berkata, "Adakah khalifah itu atau dia? "Abu Bakar menjawab, "Ia, insya Allah. " Lalu berlakulah apa yang diputuskan Umar.
3. Al-Fujaah pernah menyatakan diri ingin berjihad dan meminta perbekalan pada Abu Bakar. Abu Bakar memberinya bekal. Al-Fujaah ternyata menggunakan fasilitas Abu Bakar ini untuk merampok.
Abu Bakar menyuruh Tharifah bin Hajiz untuk membawanya ke Madinah. Abu Bakar menghukumnya dengan membakarnya hidup-hidup.
4. Abu Bakar dan Umar tidak memberikan hak khumus dari keluarga Rasulullah SAW, tapi menyalurkan hak itu fi sabilillah. Mereka berpendapat, setelah Rasulullah SAW wafat, khalifah yang berhak mengatur pembagian khumus.
Baca juga: Ilmu Fikih: Kisah Debat Umar bin Khattab dengan Ammar bin Yasir tentang Junub 5. Utsman bin Affan membolehkan "menikahi" dua orang wanita bersaudara dari antara budak belian sekaligus. Ali bin Abi Thalib mengharamkannya.
Utsman juga melakukan banyak "pembaharuan" dalam fiqh Islam: a) mengitmamkan salat dalam keadaan safat di Mina; b) menambahkan adzan ketiga pada hari Jumat; c) melarang haji tamattu; d) membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur dengan istrinya tanpa mengeluarkan mani; e) mengambil zakat dari kuda; f) mendahulukan khotbah sebelum shalat pada shalat 'id.
Bebas MenafsirkanMenurut Fazlur Rahman, pada zaman para sahabat, orang secara bebas memberikan tafsiran pada sunnah Rasulullah SAW. Berkembanglah berbagai penafsiran.
Dalam proses free market of ideas, pendapat-pendapat tertentu kemudian berkembang menjadi opini generalis, lalu opini publik, lalu konsesnsus.
Oleh karena itu, waktu itu yang disebut sunnah ialah apa yang disebut Imam Malik sebagai al-amr al-mujtama' 'alaih.
Baca juga: Perkembangan Ilmu Fikih: Masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah Jalaluddin Rakhmat mengatakan hampir sependapat dengan Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa yang disepakati tidak selalu berkembang dari hasil persaingan pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma' adalah konsensus yang "ditetapkan" oleh penguasa politik waktu itu.
"Tidak berlebih-lebihan kalau kita simpulkan bahwa fiqih al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih penguasa," ujar Jalaluddin Rakhmat.
(mif)