LANGIT7.ID- Muhammad Ibrahim Jannati dalam "
Ra'y Gera'i Dar Ijtihad" menyebut salah satu sebab utama
ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman
Rasulullah SAW. Sementara itu, setelah Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapi masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku berjudul "
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "T
injauan Kritis atas Sejarah Fiqh, Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme" menjelaskan kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait.
Hanya merekalah, menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah.
Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul --tugas mereka adalah mengacu pada Ma'shumun.
Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi.
Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat.
Kelompok ini --kelak disebut Ahl al-Sunnah-- ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.
Baca juga: Ilmu Fikih: Kisah Debat Umar bin Khattab dengan Ammar bin Yasir tentang Junub Menurut Jalaluddin Rakhmat, semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali Ali bin Abi Thalib.
Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash. Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama dalil naqli.
Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal al-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya di depan Utsman.
Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan tamattu, dan engkau sendiri melakukannya.
Ali menjawab: Aku tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah SAW hanya karena pendapat seseorang. (Shahih al Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim, 1:349).
Setelah perdebatan ini, menurut riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata: Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh meninggalkannya. [Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad al-Ma'ad 1:177-225].
Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr. Rasulullah SAW menderanya 40 kali.Umar --atas saran Abd al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali.
Ali kembali menderanya 40 kali. Rasulullah SAW menetapkan thalaq tiga dalam satu majlis itu dihitung satu. Begitu pula Ali. Umar menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus.
Umar memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali membebaskan hukum itu berdasarkan hadits.
Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan perbedaan memahami nash.
Kata quru dalam wal muthalaqatu yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan berbeda-beda.
Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru" itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di antara haidh dengan haidh lagi.
Ibn Umar menafsirkan "al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim.
Baca juga: Perkembangan Ilmu Fikih: Masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah Ibn 'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish) dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna.
Utsman tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita Yahudi dari Syam.
Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena perbedaan pengetahuan yang mereka miliki. Sebagian sahabat, misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya.
Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab.
Kata Ubayy Anda tahu saya berada di dalam beserta Rasulullah SAW ketika ia membaca ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak ada; ketika saya diundang, Anda tidak.
Salah Satu Sebab Ikhtilaf Berkenaan dengan Sunnah Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah:
"Sahabat Rasulullah SAW, yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Rasulullah SAW ditanya tentang suatu masalah.
Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya.
Ketika Rasulullah SAW wafat, bertebaranlah sahabat di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah.
Baca juga: Ilmu Fiqih: Pangkal Pertumbuhannya dan Peranan Nabi dengan Tugas Kerasulan Ini semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak hadir di majelis Rasulullah SAW, sedangkan sebagian lagi hadir.
Setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua bulan.
Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah.
Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak diketahui Abu Musa."
(mif)