Tubuh yang Sakit, Umat yang Rapuh: Krisis Solidaritas di Era Digital
Miftah yusufpati
Senin, 25 Agustus 2025 - 16:30 WIB
Salat berjamaah, puasa bersama, hingga zakat menegaskan satu hal: kita batu bata dalam bangunan kolektif. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari, Nabi Muhammad bersabda: “Orang mukmin dengan mukmin yang lainnya bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan antara satu bagian dengan bagian lainnya.” (Muttafaq ‘alaih). Perumpamaan itu sederhana, tapi mendalam. Dalam pandangan Islam, individu bukan entitas terpisah; ia adalah batu bata dalam bangunan umat.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi, dalam Fiqh Prioritas (Robbani Press, 1996), menegaskan: “Syariah tidak pernah melalaikan urusan masyarakat. Setiap hukum ibadah, muamalah, dan akhlak disusun untuk menyiapkan individu agar menjadi bagian dari struktur sosial.” Dengan kata lain, tak ada ruang bagi egoisme.
Prinsip ini bukan wacana abstrak. Ia menjelma dalam aturan ibadah sehari-hari. Salat misalnya. Islam mendorong umat untuk salat berjamaah, bahkan mengancam keras mereka yang menghindarinya. Sebuah riwayat mencatat Nabi pernah berniat membakar rumah orang-orang yang enggan berjamaah di masjid.
“Bila seseorang datang ke masjid dan menemukan jamaah, ia wajib bergabung. Jika barisan penuh, ia harus menarik orang untuk berdiri bersamanya,” tulis Qardhawi, mengutip riwayat Wabishah bin Mu’abbad dan Ali bin Syaiban. Bahkan, sebagian ulama mazhab menganggap salat sendirian di belakang saf sebagai batal, bukan sekadar makruh.
Baca juga: Post Hajj Syndrome, Ketika Jamaah Merasa Hampa dan Rindu Tanah Suci Pascapulang Haji
Semangat kolektivitas ini juga terlihat pada ibadah puasa. Seorang Muslim tidak boleh berbuka sendiri hanya karena melihat hilal Syawal terlebih dahulu. Ia harus menunggu keputusan jamaah. “Puasa kamu adalah puasa ketika kamu semua berpuasa, dan Idul Fitri-mu adalah ketika kamu semua berhari raya,” sabda Nabi, menurut hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi.
Syariah Sebagai Tembok Anti-Egoisme
Syaikh Yusuf al-Qardhawi, dalam Fiqh Prioritas (Robbani Press, 1996), menegaskan: “Syariah tidak pernah melalaikan urusan masyarakat. Setiap hukum ibadah, muamalah, dan akhlak disusun untuk menyiapkan individu agar menjadi bagian dari struktur sosial.” Dengan kata lain, tak ada ruang bagi egoisme.
Prinsip ini bukan wacana abstrak. Ia menjelma dalam aturan ibadah sehari-hari. Salat misalnya. Islam mendorong umat untuk salat berjamaah, bahkan mengancam keras mereka yang menghindarinya. Sebuah riwayat mencatat Nabi pernah berniat membakar rumah orang-orang yang enggan berjamaah di masjid.
“Bila seseorang datang ke masjid dan menemukan jamaah, ia wajib bergabung. Jika barisan penuh, ia harus menarik orang untuk berdiri bersamanya,” tulis Qardhawi, mengutip riwayat Wabishah bin Mu’abbad dan Ali bin Syaiban. Bahkan, sebagian ulama mazhab menganggap salat sendirian di belakang saf sebagai batal, bukan sekadar makruh.
Baca juga: Post Hajj Syndrome, Ketika Jamaah Merasa Hampa dan Rindu Tanah Suci Pascapulang Haji
Semangat kolektivitas ini juga terlihat pada ibadah puasa. Seorang Muslim tidak boleh berbuka sendiri hanya karena melihat hilal Syawal terlebih dahulu. Ia harus menunggu keputusan jamaah. “Puasa kamu adalah puasa ketika kamu semua berpuasa, dan Idul Fitri-mu adalah ketika kamu semua berhari raya,” sabda Nabi, menurut hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi.
Syariah Sebagai Tembok Anti-Egoisme