Ketika Ibadah Menjadi Keseimbangan, Bukan Beban
Miftah yusufpati
Ahad, 28 September 2025 - 05:45 WIB
Syariat memberi ruang nazar, tapi tetap menolak unsur penyiksaan diri. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Malam di Madinah kerap hening, tapi tidak selalu sepi. Di salah satu sudut masjid Nabi, pernah terbentang seutas tali diikatkan pada dua tiang. Tali itu milik Zainab, istri Rasulullah saw., yang menggunakannya untuk menopang tubuh ketika kelelahan shalat malam.
Ketika Rasulullah melihatnya, beliau menegur lembut. “Lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang dari kalian beribadah dalam keadaan segar. Bila lelah, shalatlah dalam keadaan duduk,” sabdanya (HR Bukhari dan Muslim, no. 1150).
Hadis itu menggambarkan kegairahan beribadah para perempuan pada masa awal Islam. Mereka ingin memaksimalkan malam-malam dengan sujud, bahkan sampai tubuh tak lagi kuat. Namun Nabi menegaskan: agama ini bukan untuk menyiksa, melainkan jalan menuju keseimbangan.
Kisah lain datang dari Aisyah r.a. Suatu ketika ia menerima seorang perempuan yang dikenal rajin shalat malam. Rasulullah saw. pun mengingatkan, “Laksanakanlah ibadah sesuai kemampuanmu. Allah tidak akan bosan sampai kamu sendiri yang merasa bosan.” (HR Bukhari-Muslim, no. 1100).
Pesan Nabi itu, menurut Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Taisir(Beirut: Dar al-Fikr, 2000), adalah fondasi prinsip laa haraj—tiada kesulitan dalam agama. Semangat ibadah adalah mulia, tapi manakala berlebihan justru menjauhkan dari ruh Islam: keseimbangan antara jasmani, ruhani, dan sosial.
Bentuk lain kegigihan beribadah muncul dalam riwayat Ibnu Abbas. Seorang lelaki datang dan bertanya tentang saudara perempuannya yang wafat sebelum menunaikan nazar haji. Rasulullah menjawab: “Bayarkanlah nazarnya, karena Allah lebih berhak ditunaikan hak-Nya.” (HR Bukhari, no. 6699).
Di riwayat lain, seorang perempuan bernazar berjalan kaki ke Baitullah. Rasulullah menanggapi tegas: “Hendaklah ia berjalan dan berkendaraan.” (HR Muslim, no. 1643). Ulama hadis seperti Imam Nawawi dalam Syarh Muslimmenafsirkan: syariat memberi ruang nazar, tapi tetap menolak unsur penyiksaan diri.
Ketika Rasulullah melihatnya, beliau menegur lembut. “Lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang dari kalian beribadah dalam keadaan segar. Bila lelah, shalatlah dalam keadaan duduk,” sabdanya (HR Bukhari dan Muslim, no. 1150).
Hadis itu menggambarkan kegairahan beribadah para perempuan pada masa awal Islam. Mereka ingin memaksimalkan malam-malam dengan sujud, bahkan sampai tubuh tak lagi kuat. Namun Nabi menegaskan: agama ini bukan untuk menyiksa, melainkan jalan menuju keseimbangan.
Kisah lain datang dari Aisyah r.a. Suatu ketika ia menerima seorang perempuan yang dikenal rajin shalat malam. Rasulullah saw. pun mengingatkan, “Laksanakanlah ibadah sesuai kemampuanmu. Allah tidak akan bosan sampai kamu sendiri yang merasa bosan.” (HR Bukhari-Muslim, no. 1100).
Pesan Nabi itu, menurut Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Taisir(Beirut: Dar al-Fikr, 2000), adalah fondasi prinsip laa haraj—tiada kesulitan dalam agama. Semangat ibadah adalah mulia, tapi manakala berlebihan justru menjauhkan dari ruh Islam: keseimbangan antara jasmani, ruhani, dan sosial.
Bentuk lain kegigihan beribadah muncul dalam riwayat Ibnu Abbas. Seorang lelaki datang dan bertanya tentang saudara perempuannya yang wafat sebelum menunaikan nazar haji. Rasulullah menjawab: “Bayarkanlah nazarnya, karena Allah lebih berhak ditunaikan hak-Nya.” (HR Bukhari, no. 6699).
Di riwayat lain, seorang perempuan bernazar berjalan kaki ke Baitullah. Rasulullah menanggapi tegas: “Hendaklah ia berjalan dan berkendaraan.” (HR Muslim, no. 1643). Ulama hadis seperti Imam Nawawi dalam Syarh Muslimmenafsirkan: syariat memberi ruang nazar, tapi tetap menolak unsur penyiksaan diri.