Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Jum'at, 21 November 2025
home masjid detail berita

Ketika Ibadah Menjadi Keseimbangan, Bukan Beban

miftah yusufpati Ahad, 28 September 2025 - 05:45 WIB
Ketika Ibadah Menjadi Keseimbangan, Bukan Beban
Syariat memberi ruang nazar, tapi tetap menolak unsur penyiksaan diri. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Malam di Madinah kerap hening, tapi tidak selalu sepi. Di salah satu sudut masjid Nabi, pernah terbentang seutas tali diikatkan pada dua tiang. Tali itu milik Zainab, istri Rasulullah saw., yang menggunakannya untuk menopang tubuh ketika kelelahan shalat malam.

Ketika Rasulullah melihatnya, beliau menegur lembut. “Lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang dari kalian beribadah dalam keadaan segar. Bila lelah, shalatlah dalam keadaan duduk,” sabdanya (HR Bukhari dan Muslim, no. 1150).

Hadis itu menggambarkan kegairahan beribadah para perempuan pada masa awal Islam. Mereka ingin memaksimalkan malam-malam dengan sujud, bahkan sampai tubuh tak lagi kuat. Namun Nabi menegaskan: agama ini bukan untuk menyiksa, melainkan jalan menuju keseimbangan.

Kisah lain datang dari Aisyah r.a. Suatu ketika ia menerima seorang perempuan yang dikenal rajin shalat malam. Rasulullah saw. pun mengingatkan, “Laksanakanlah ibadah sesuai kemampuanmu. Allah tidak akan bosan sampai kamu sendiri yang merasa bosan.” (HR Bukhari-Muslim, no. 1100).

Pesan Nabi itu, menurut Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Taisir (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), adalah fondasi prinsip laa haraj—tiada kesulitan dalam agama. Semangat ibadah adalah mulia, tapi manakala berlebihan justru menjauhkan dari ruh Islam: keseimbangan antara jasmani, ruhani, dan sosial.

Bentuk lain kegigihan beribadah muncul dalam riwayat Ibnu Abbas. Seorang lelaki datang dan bertanya tentang saudara perempuannya yang wafat sebelum menunaikan nazar haji. Rasulullah menjawab: “Bayarkanlah nazarnya, karena Allah lebih berhak ditunaikan hak-Nya.” (HR Bukhari, no. 6699).

Di riwayat lain, seorang perempuan bernazar berjalan kaki ke Baitullah. Rasulullah menanggapi tegas: “Hendaklah ia berjalan dan berkendaraan.” (HR Muslim, no. 1643). Ulama hadis seperti Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menafsirkan: syariat memberi ruang nazar, tapi tetap menolak unsur penyiksaan diri.

Relevansi Kini

Kisah-kisah itu, yang sepintas sederhana, sesungguhnya menyimpan refleksi sosial. Kegigihan ibadah perempuan pada masa Nabi memperlihatkan posisi aktif mereka dalam ruang spiritual, tidak sekadar pelengkap. Namun, Nabi sekaligus menegaskan garis moderasi: jangan sampai semangat berubah menjadi beban.

Dalam konteks modern, pengingat ini terasa aktual. Fenomena hijrah misalnya, sering menghadirkan semangat ibadah yang meluap, namun tak jarang berujung ekstrim: mengabaikan kesehatan, memutus hubungan sosial, bahkan menafikan seni dan budaya. Padahal, seperti dicatat Fazlur Rahman dalam Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1979), “Islam menekankan moralitas yang realistis—iman yang berakar dalam praktik hidup, bukan pengasingan diri.”

Dari Zainab hingga perempuan yang bernazar, benang merahnya jelas: ibadah bukan beban, melainkan kegembiraan. Nabi Muhammad saw. sendiri menggambarkan shalat sebagai “penyejuk mata” (qurrata ‘ain). Maka, ibadah yang sehat adalah yang memberi energi, bukan mengurasnya.

Sejarah mencatat, para perempuan sahabat bukan hanya tekun beribadah, tapi juga aktif di ruang sosial: merawat keluarga, menuntut ilmu, bahkan ikut dalam peperangan. Inilah keseimbangan yang ditawarkan Islam: iman, amal, dan kehidupan berjalan seiring.

Maka, bila hari ini sebagian orang menilai kesalehan dari seberapa lama shalat malam atau seberapa keras disiplin beribadah, hadis-hadis itu mengingatkan: Allah lebih suka konsistensi daripada kepayahan. Seperti sabda Nabi, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang sedikit tapi terus-menerus.” (HR Bukhari-Muslim).

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Jum'at 21 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:05
Maghrib
17:54
Isya
19:08
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan