Haman: Menteri Fira'un yang Setia, Birokrat Ulung, dan Politisi Licin
Miftah yusufpati
Senin, 06 Oktober 2025 - 16:00 WIB
Dalam Al-Quran, Haman bukan sekadar menteri Firaun, tapi simbol abadi politikus oportunis: cerdas, licin, dan rela menukar nurani demi kuasa. Ilustrasi: Israel my glory
LANGIT7.ID-Dalam Al-Qur’an, nama Haman muncul enam kali. Selalu ia berdampingan dengan Fir’aun—sang diktator Mesir—dengan peran unik: menteri yang setia, birokrat ulung, dan politisi licin. Bila Fir’aun adalah simbol tirani, maka Haman adalah wajah oportunisme politik yang menjual kepandaian untuk melanggengkan kekuasaan zalim.
Fir’aun berkata kepada Haman: “Bangunkanlah bagiku sebuah menara tinggi agar aku dapat melihat Tuhan Musa itu.” (QS al-Qashash: 38). Perintah itu absurd, tapi Haman tak membantah. Ia justru mengangguk, menuruti, dan menjadikan kecerdikannya sebagai alat propaganda tiran.
Kisah Haman barangkali ringkas, tetapi gema politiknya panjang. Ulama klasik dan cendekiawan kontemporer melihat tokoh ini bukan hanya pejabat masa lalu, melainkan simbol abadi politikus oportunis yang rela menukar nurani demi kuasa.
Baca juga: Gelang Emas Firaun Berusia 3.000 Tahun Hilang dari Museum
Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibn Katsir menegaskan Haman sebagai menteri terdekat Fir’aun yang sebenarnya tahu kebenaran Musa. Tetapi ia memilih menutup hati, demi status dan kedudukan. Ia adalah wajah pejabat yang cerdas, namun tunduk penuh pada rezim.
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’anmenyebut Haman sebagai arsitek politik Fir’aun. Ia yang merancang propaganda, membenarkan klaim penguasa, bahkan menggunakan teknologi dan rekayasa sosial demi memperkuat citra Fir’aun. “Haman bukan sekadar pengikut,” tulis Qutb, “ia adalah otak di balik tirani.”
Syaikh Yusuf Qardhawi dalam Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim(1997) menambahkan, dosa Haman terletak pada pilihan sadar: ia tahu Fir’aun dusta, tapi justru ikut mendukung. Kesalahannya bukan kebodohan, melainkan kepentingan.
Fir’aun berkata kepada Haman: “Bangunkanlah bagiku sebuah menara tinggi agar aku dapat melihat Tuhan Musa itu.” (QS al-Qashash: 38). Perintah itu absurd, tapi Haman tak membantah. Ia justru mengangguk, menuruti, dan menjadikan kecerdikannya sebagai alat propaganda tiran.
Kisah Haman barangkali ringkas, tetapi gema politiknya panjang. Ulama klasik dan cendekiawan kontemporer melihat tokoh ini bukan hanya pejabat masa lalu, melainkan simbol abadi politikus oportunis yang rela menukar nurani demi kuasa.
Baca juga: Gelang Emas Firaun Berusia 3.000 Tahun Hilang dari Museum
Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibn Katsir menegaskan Haman sebagai menteri terdekat Fir’aun yang sebenarnya tahu kebenaran Musa. Tetapi ia memilih menutup hati, demi status dan kedudukan. Ia adalah wajah pejabat yang cerdas, namun tunduk penuh pada rezim.
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’anmenyebut Haman sebagai arsitek politik Fir’aun. Ia yang merancang propaganda, membenarkan klaim penguasa, bahkan menggunakan teknologi dan rekayasa sosial demi memperkuat citra Fir’aun. “Haman bukan sekadar pengikut,” tulis Qutb, “ia adalah otak di balik tirani.”
Syaikh Yusuf Qardhawi dalam Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim(1997) menambahkan, dosa Haman terletak pada pilihan sadar: ia tahu Fir’aun dusta, tapi justru ikut mendukung. Kesalahannya bukan kebodohan, melainkan kepentingan.