Lembut Sebelum Bulat: Etika Musyawarah Menurut Al-Qur’an
Miftah yusufpati
Senin, 20 Oktober 2025 - 05:45 WIB
Prof Quraish Shihab. Foto/Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Prof. Dr. M. Quraish Shihab menulis bahwa musyawarah bukan sekadar mekanisme sosial, tapi cermin kedewasaan spiritual. Hal ini tercantum dalam bukunya bertajuk "Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan). “Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali ‘Imran [3]: 159)
Ayat itu, tulis Quraish, menjadi kunci bagi siapa pun yang ingin bermusyawarah. Sebelum bermusyawarah, seseorang harus menghiasi diri dengan tiga sikap: lemah lembut, pemaaf, dan berjiwa bersih. Setelah itu, baru datang satu tuntunan terakhir: kebulatan tekad.
Dalam tafsirnya, Quraish mengurai bahwa Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk bermusyawarah, tapi juga mengajarkan bagaimana caranya. Tiga sikap itu disebutkan secara berurutan—bukan kebetulan, tapi urutan moral yang harus dijalani.
Pertama, lemah lembut. Pemimpin yang keras kepala, tulisnya, akan kehilangan pengikut. Musyawarah menuntut keluasan hati dan kemampuan mendengar. “Jika engkau bersikap kasar,” tulis Quraish mengutip ayat, “mereka akan berpaling.”
Kedua, memaafkan. Maaf, kata Quraish, berarti menghapus. Ia bukan sekadar kata sopan, tapi proses membersihkan hati agar pikiran tetap jernih. “Tiada musyawarah tanpa pihak lain, dan tiada kejernihan pikiran tanpa kejernihan hati,” tulisnya.
Ketiga, memohon ampun. Musyawarah yang sejati, kata Quraish, tidak hanya dialog antar manusia, tetapi juga komunikasi dengan Tuhan. Karena keputusan terbaik sering lahir dari hati yang bersih dan hubungan yang harmonis dengan Yang Maha Suci.
Di Antara Akal dan Hidayah
Ayat itu, tulis Quraish, menjadi kunci bagi siapa pun yang ingin bermusyawarah. Sebelum bermusyawarah, seseorang harus menghiasi diri dengan tiga sikap: lemah lembut, pemaaf, dan berjiwa bersih. Setelah itu, baru datang satu tuntunan terakhir: kebulatan tekad.
Dalam tafsirnya, Quraish mengurai bahwa Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk bermusyawarah, tapi juga mengajarkan bagaimana caranya. Tiga sikap itu disebutkan secara berurutan—bukan kebetulan, tapi urutan moral yang harus dijalani.
Pertama, lemah lembut. Pemimpin yang keras kepala, tulisnya, akan kehilangan pengikut. Musyawarah menuntut keluasan hati dan kemampuan mendengar. “Jika engkau bersikap kasar,” tulis Quraish mengutip ayat, “mereka akan berpaling.”
Kedua, memaafkan. Maaf, kata Quraish, berarti menghapus. Ia bukan sekadar kata sopan, tapi proses membersihkan hati agar pikiran tetap jernih. “Tiada musyawarah tanpa pihak lain, dan tiada kejernihan pikiran tanpa kejernihan hati,” tulisnya.
Ketiga, memohon ampun. Musyawarah yang sejati, kata Quraish, tidak hanya dialog antar manusia, tetapi juga komunikasi dengan Tuhan. Karena keputusan terbaik sering lahir dari hati yang bersih dan hubungan yang harmonis dengan Yang Maha Suci.
Di Antara Akal dan Hidayah