Ketika Ijtihad Mati di Tangan Ketakutan: Teror Intelektual di Dunia Islam
Miftah yusufpati
Selasa, 21 Oktober 2025 - 04:15 WIB
Ijtihad tak boleh mati hanya karena ulama takut pada umatnya sendiri. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID--Suatu siang di Kairo, seorang ulama sepuh berdiri di hadapan forum ilmiah. Dengan suara bergetar, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, tokoh besar hukum Islam abad ke-20, mengucap kalimat yang mengejutkan para peserta seminar. “Sesungguhnya aku menyimpan pendapatku ini sejak dua puluh tahun lebih. Sekarang aku telah terlepas dari tanggunganku.”
Kalimat itu, seperti dikisahkan Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (1997), menggambarkan tragedi sunyi di dunia keilmuan Islam: ijtihad yang mati di tangan ketakutan.
Abu Zahrah bukan takut pada kebenaran, tapi pada umatnya sendiri—pada mereka yang menjadikan agama beku, yang menghunus “pedang terorisme ilmiah” kepada siapa pun yang berani berpikir berbeda.
Dalam bab “Harus Ada Ijtihad Baru yang Tepat”, Qardhawi menulis dengan nada prihatin. Ia menggambarkan dua kelompok ekstrem yang, meski tampak berseberangan, sama-sama membahayakan jiwa Islam.
Kelompok pertama adalah mereka yang ingin melunakkan Islam seperti adonan roti, agar bisa dibentuk sesuka zaman. Mereka menafsirkan agama tanpa pijakan nash—tanpa Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas.
“Mereka menjadikan Islam tunduk pada modernitas, bukan modernitas yang beretika pada Islam,” tulis Qardhawi.
Contohnya, mereka yang berusaha melegalkan bunga bank, padahal, kata Qardhawi, “seluruh lembaga dan muktamar ilmiah Islamiyah telah mengharamkannya.”
Kalimat itu, seperti dikisahkan Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (1997), menggambarkan tragedi sunyi di dunia keilmuan Islam: ijtihad yang mati di tangan ketakutan.
Abu Zahrah bukan takut pada kebenaran, tapi pada umatnya sendiri—pada mereka yang menjadikan agama beku, yang menghunus “pedang terorisme ilmiah” kepada siapa pun yang berani berpikir berbeda.
Dalam bab “Harus Ada Ijtihad Baru yang Tepat”, Qardhawi menulis dengan nada prihatin. Ia menggambarkan dua kelompok ekstrem yang, meski tampak berseberangan, sama-sama membahayakan jiwa Islam.
Kelompok pertama adalah mereka yang ingin melunakkan Islam seperti adonan roti, agar bisa dibentuk sesuka zaman. Mereka menafsirkan agama tanpa pijakan nash—tanpa Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas.
“Mereka menjadikan Islam tunduk pada modernitas, bukan modernitas yang beretika pada Islam,” tulis Qardhawi.
Contohnya, mereka yang berusaha melegalkan bunga bank, padahal, kata Qardhawi, “seluruh lembaga dan muktamar ilmiah Islamiyah telah mengharamkannya.”