Melacak Jejak Tradisi Dunia Pernaskahan di Palembang
Jaja Suhana
Kamis, 23 Desember 2021 - 23:25 WIB
Raja Kesultanan Darussalam Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin IV. Foto: wideazone.com.
Pada era kesultanan Palembang naskah-naskah dibuat atas dasar perintah dari sultan. Sejak awal para sultan menunjukan minat pada bidang keagamaan serta mendorong tumbuhnya pengetahuan dan iklim pengetahuan di bawah patronase mereka.
Hal itu disampaikan oleh Raja Kesultanan Darussalam Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin IV dalam acara webinar yang dikutip dari DREAMSEA Manuscript, Kamis (23/12/2021).
Ia menjelaskan, hal itu dibuktikan dengan surat perintah dari Sultan Ahmad Najamudin 1 kepada ulama kerajaan saat itu Kemas Fakhruddin. "Dikarenakan itulah kerajaan ini menyuruh hamba menyurat kitab ini yang bernama kitab khawasul Qur'an kepada kiai Kemas Fakhruddin. (Bait terakhir kitab Khawasul Qur'an tentang perintah Sultan Ahmad Najamuddin 1 (1757-1776) kepada Kemas Fakhruddin untuk menyalin naskah," katanya.
Baca Juga:Pendidikan Menurut Al-Ghazali: Ilmu Agama dan Keterampilan Dunia Harus Saling Melengkapi
Penyalinan naskah itu merupakan bukti tesis tentang Islam sebagai fenomena istana. Hal yang umum dalam perkembangan keilmuan Islam di kepulauan Melayu-Indonesia, seperti di Aceh dan Riau.
Di Aceh pada masa keemasan kesultanan misalnya, muncul ulama-ulama yang bertindak sebagai "patron keilmuan" penguasa, seperti Syams al-Din al-Sumatrai, Nuruddin al-Raniri dan Syekh Abdurrauf al-Sinkili. Kesultanan Palembang juga memiiki para ulama (dalam bahasa Arab berarti ilmuan atau peneliti) yang menulis atau menerjemahkan serta menyalin kitab-kitab keilmuan Islam di negeri Palembang sepanjang abad ke-18 dan 19.
Ulama-ulama yang termasyhur yang produktif pada era kesultanan Palembang ialah: Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyidin, Kemas Muhammad bin Ahmad, serta Syekh Abdussamad al-Palimbani. Sedangkan status penguasa sekaligus penulis dalam era kesultanan Palembang melekat pada figur Sultan Badaruddin II.
Hal itu disampaikan oleh Raja Kesultanan Darussalam Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin IV dalam acara webinar yang dikutip dari DREAMSEA Manuscript, Kamis (23/12/2021).
Ia menjelaskan, hal itu dibuktikan dengan surat perintah dari Sultan Ahmad Najamudin 1 kepada ulama kerajaan saat itu Kemas Fakhruddin. "Dikarenakan itulah kerajaan ini menyuruh hamba menyurat kitab ini yang bernama kitab khawasul Qur'an kepada kiai Kemas Fakhruddin. (Bait terakhir kitab Khawasul Qur'an tentang perintah Sultan Ahmad Najamuddin 1 (1757-1776) kepada Kemas Fakhruddin untuk menyalin naskah," katanya.
Baca Juga:Pendidikan Menurut Al-Ghazali: Ilmu Agama dan Keterampilan Dunia Harus Saling Melengkapi
Penyalinan naskah itu merupakan bukti tesis tentang Islam sebagai fenomena istana. Hal yang umum dalam perkembangan keilmuan Islam di kepulauan Melayu-Indonesia, seperti di Aceh dan Riau.
Di Aceh pada masa keemasan kesultanan misalnya, muncul ulama-ulama yang bertindak sebagai "patron keilmuan" penguasa, seperti Syams al-Din al-Sumatrai, Nuruddin al-Raniri dan Syekh Abdurrauf al-Sinkili. Kesultanan Palembang juga memiiki para ulama (dalam bahasa Arab berarti ilmuan atau peneliti) yang menulis atau menerjemahkan serta menyalin kitab-kitab keilmuan Islam di negeri Palembang sepanjang abad ke-18 dan 19.
Ulama-ulama yang termasyhur yang produktif pada era kesultanan Palembang ialah: Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyidin, Kemas Muhammad bin Ahmad, serta Syekh Abdussamad al-Palimbani. Sedangkan status penguasa sekaligus penulis dalam era kesultanan Palembang melekat pada figur Sultan Badaruddin II.