LANGIT7.ID, Jakarta - Pada era kesultanan Palembang naskah-naskah dibuat atas dasar perintah dari sultan. Sejak awal para sultan menunjukan minat pada bidang keagamaan serta mendorong tumbuhnya pengetahuan dan iklim pengetahuan di bawah patronase mereka.
Hal itu disampaikan oleh Raja Kesultanan Darussalam Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin IV dalam acara webinar yang dikutip dari DREAMSEA Manuscript, Kamis (23/12/2021).
Ia menjelaskan, hal itu dibuktikan dengan surat perintah dari Sultan Ahmad Najamudin 1 kepada ulama kerajaan saat itu Kemas Fakhruddin. "Dikarenakan itulah kerajaan ini menyuruh hamba menyurat kitab ini yang bernama kitab khawasul Qur'an kepada kiai Kemas Fakhruddin. (Bait terakhir kitab Khawasul Qur'an tentang perintah Sultan Ahmad Najamuddin 1 (1757-1776) kepada Kemas Fakhruddin untuk menyalin naskah," katanya.
Baca Juga: Pendidikan Menurut Al-Ghazali: Ilmu Agama dan Keterampilan Dunia Harus Saling MelengkapiPenyalinan naskah itu merupakan bukti tesis tentang Islam sebagai fenomena istana. Hal yang umum dalam perkembangan keilmuan Islam di kepulauan Melayu-Indonesia, seperti di Aceh dan Riau.
Di Aceh pada masa keemasan kesultanan misalnya, muncul ulama-ulama yang bertindak sebagai "patron keilmuan" penguasa, seperti Syams al-Din al-Sumatrai, Nuruddin al-Raniri dan Syekh Abdurrauf al-Sinkili. Kesultanan Palembang juga memiiki para ulama (dalam bahasa Arab berarti ilmuan atau peneliti) yang menulis atau menerjemahkan serta menyalin kitab-kitab keilmuan Islam di negeri Palembang sepanjang abad ke-18 dan 19.
Ulama-ulama yang termasyhur yang produktif pada era kesultanan Palembang ialah: Syihabuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyidin, Kemas Muhammad bin Ahmad, serta Syekh Abdussamad al-Palimbani. Sedangkan status penguasa sekaligus penulis dalam era kesultanan Palembang melekat pada figur Sultan Badaruddin II.
Baca Juga: Resmi Dibuka, Ketum PBNU Sampaikan 5 Modal Kebangkitan IndonesiaNamun, pada tahun 1821 Kesultanan Palembang kalah peperangan, salah satunya karena diadu domba oleh kolonial, sehingga Sultan Badaruddin II diasingkan ke Ternate 200 tahun lalu. Sebelum Sultan Badaruddin II diasingkan ke ternate ia membagikan naskah-nakah kepada masyarakat yang masih berkerabat dengannya. Setelah Keraton Palembang diambil alih, peran sultan mulai merosot dan penyalinan naskah-naskah mulai berkurang. Sehingga koleksi perpustakaan tercerai berai.
Yang unik dari naskah tersebut adalah sampulnya yang dibuat dari kulit binatang yang didatangkan langsung dari luar negeri. "Jadi yang ada di masyarakat itu biasanya milik istana. buku-buku itu juga banyak dimiliki orang dan disewa-sewakan," kata Sultan Badaruddin IV.
Pejabat Belanda JI Van Sevenhoven dalam bukunya, Lukisan Tentang Ibukota Palembang menerangkan, saat itu dia melihat bahwa perpustakaan keraton kosong, lalu dia menyuruh orang-orang Belanda menggeledah rumah bangsawan Palembang, dan mendapatkan 55 manuskrip yang pernah menjadi koleksi perpustakaan keraton. Naskah-naskah yang ditemukan kembali, itu merupakan milik mantan Sultan Palembang Mahmud Badaruddin II.
Baca Juga: Bagaimana Hukum Baca Doa Iftitah dalam Shalat? Ini Kata Ulama55 manuskrip itu merupakan naskah Melayu Arab yang sangat indah tulisannya, di antaranya ada naskah yang sangat langka yang dikirimkan kepada Residen Batavia oleh Sevenhoven yang menjabat sebagai pemerintah Belanda di Palembang kala itu.
Saat ini Katalog Naskah Palembang ada di kesultanan Darussalam dan terawat dengan baik. Sultan Mahmud Badaruddin IV mempersilahkan kepada peneliti dari Perpusnas dan dari Dreamsea untuk mendigitalkan dan mengalihbahasakan naskah-naskah tersebut. Ia menilai hal itu penting agar dapat dibaca oleh anak cucu masyarakat Indonesia kemudian hari.
"Jadi Kesultanan Palembang tetap terbuka terhadap peneliti-peneliti dan semua orang-orang yang ingin menerjemahkan. Mari kita sama sama untuk membaca dan mengkritik kembali naskah-naskah yang ada. Ada 100 lebih naskah kami, kita siap bersinergi dengan Dreamsea dan juga dengan lainnya, untuk menerjemahkan atau mengalih bahasa, karena banyak naskah tersebut berbahasa Arab dan berbahasa Melayu," ujar Sultan Badaruddin IV.
Baca Juga: Mengenal Perbedaan Antara Masjid Jami, Agung, dan Raya(zhd)