LANGIT7.ID - Pakar Sejarah Islam, Ustadz Asep Sobari, menjelaskan konsep kurikulum pendidikan dalam Islam menurut Imam Al-Ghazali. Berdasarkan pemikiran Al-Ghazali, tujuan kurikulum harus mengacu pada tujuan pokok pendidikan Islam, yakni kedekatan diri kepada Allah dan kebahagiaan dunia akhirat. Ilmu merupakan satu kesatuan (terintegrasi) menuju sasaran yang sama.
“Al-Ghazali mengatakan bahwa kurikulum adalah sebuah konstruk yang komprehensif, ilmu-ilmu agama dan keterampilan duniawi saling melengkapi,” kata Ustadz Asep Sobari, dikutip kanal youtube Islamic Lifestyle, Kamis (23/12/2021).
Jika seorang pelajar hanya menukil ilmu-ilmu alam dan nadzar (nalar) seperti kalam, kedokteran, puisi, astronomi, nahwu dan sharaf, tanpa mempelajari ilmu agama maka dia menyia-nyiakan umur dalam hal-hal yang tidak bermanfaat baginya di akhirat.
Namun bila sebaliknya, hanya menekuni ilmu agama saja, maka dia tidak akan mengerti agama selain kulit atau sisi-sisi parsial saja tanpa memahami esensi dan hakikat ilmu. Maka diperlukan komprehensifitas. Ilmu-ilmu syariah tidak akan dicapai tanpa ilmu akal. Ilmu akal berfungsi seperti obat untuk kesehatan, sementara ilmu syariah ibarat makanan.
Perumpamaan ini bisa dipahami melalui pernyataan Nabi Ibrahim dalam Surah Asy-Syu’ara ayat 80, “Ketika saya sakit, maka Allah yang akan menyembuhkan.”
Baca Juga: Rektor Unida Gontor: Rusaknya Ilmu karena Terpisah dari Iman
Ibrahim tidak mengatakan pernyataan tersebut tanpa melalui proses pembelajaran yang menggabungkan antara ilmu syariah dan ilmu ghairu syariah. Melalui ilmu kedokteran, ia mampu menyimpulkan bahwa hanya Allah yang bisa menyembuhkan segala penyakit.
“Sesungguhnya, orang yang memahami ilmu pengobatan, ilmu kesehatan, dia akan sampai pada kesimpulan bahwa dia benar-benar tidak bisa menyembuhkan, hanya Allah yang menyembuhkan. Jadi, kalau orang menguasai ilmu kedokteran, maka dia akan tahu bahwa Hanya Allah yang menyembuhkan. Tapi, kalau orang mengetahui ‘fahuwa yasyfi’ sebagai ayat, kan tidak ngerti, tidak akan masuk ke akal,” kata Ustadz Asep.
Begitu pula dengan ilmu kelautan. Seseorang tidak bisa memahami secara esensi dan hakikat ayat-ayat tentang kelautan dalam Al-Qur’an jika tidak memahami ilmu kelautan. Mengerti aspek bahasa dalam sebuah ayat saja tidak cukup, perlu bidang keilmuan tertentu untuk memahami esensinya.
Demikian pula ayat tentang peradaban seperti surat Saba. Surah itu menjelaskan tentang runtuhnya sebuah peradaban besar. Seorang pelajar tidak mungkin memahami secara hakikat keruntuhan peradaban super kuat jika tidak memahami sunnatullah dalam peradaban, yakni ilmu sosial.
“Maka itu perlu, itu saling melengkapi. Maka tidak dikotomi pada dasarnya, secara prinsip tidak ada dikotomi. Dikotomi tidak benar dalam Islam,” kata Ustadz Asep.
Meski berprinsip komprehensif, bukan berarti setiap pelajar harus menjadi pakar di semua bidang keilmuan. Tidak mungkin ada orang yang mampu menjadi spesialis di semua bidang keilmuan. Tapi dalam proses belajar, harus memiliki pengetahuan umum dalam berbagai bidang kurikulum yang saling melengkapi.
“Artinya, dalam proses dia harus belajar banyak ilmu sebagai pengetahuan dasar. Nanti, kalau dia sudah mengetahui secara umum, baru dia mendalami satu bidang yang memang menjadi minatnya. Baru di situ seseorang bisa disebut yatabahhar atau menguasai lintas bidang ilmu, karena ilmu-ilmu itu saling terkait satu sama lain, kata Al-Ghazali,” kata Ustadz Asep.
(jqf)